biblika

Alkitab adalah Firman Allah atau bukan

Ketika kita memulai doktrin Alkitab, kita diperhadapkan kepada beberapa presaposisi. Presaposisi-presaposisi itu adalah:

1. Alkitab berisi firman Allah, ( the Bible contain the word of God). Pernyataan ini adalah pernyataan orang-orang Liberal yang menolak hal yang bersifat supranatural, mis. mujizat yang telah dinyatakan Alkitab. Mereka menolak Kristus lahir dari anak dara Maria, Yesus membangkitkan orang mati dan lain-lain. Bagi mereka sebagian dari isi Alkitab adalah Firman Allah tetapi sebagian tidak. Ada lagi golongan lain seperti Bultman, yang menolak Alkitab sebagai Firman Allah dalam pengertian obyektif. Dia mengatakan bahwa ada bagian-bagian Alkitab yang berupa mitos yang perlu ditafsirkan kembali agar kita mendapatkan makna yang sesungguhnya dari mitos tersebut. Jadi, apakah sebuah kisah dalam Alkitab secara fakta sejarah benar atau salah, tidak terlalu penting. Yang penting adalah bagaimana mendapatkan makna yang sesungguhnya dari cerita tersebut. Pandangan ini salah, karena Alkitab bukanlah mitos tetapi benar-benar menceritakan fakta sejarah yang pernah terjadi.

2. Alkitab menjadi firman Allah, (the Bible become the Word of God). Pandangan ini adalah pandangan Neo-Ortodoks yang dimulai oleh Karl Barth. Dia berkata bahwa Alkitab adalah buku biasa yang berisi cerita tentang pergumulan iman orang-orang percaya pada zaman dahulu, baik PL maupun PB. Pada saat kita membaca Alkitab dan terjadi perjumpaan secara pribadi dengan Allah (encountering with God) sehingga ayat atau bagian yang kita baca benar-benar berbicara secara pribadi, maka pada saat itu Alkitab menjadi firman Allah. Pandangan ini juga salah karena menjadikan kebenaran firman Allah subyektif. Artinya apakah Alkitab itu firman Allah atau tidak, bergantung pada yang membacanya, apakah dia bertemu secara pribadi dengan Allah dalam pembacaan tersebut atau tidak. Pandangan ini mirip dengan pengajaran Kharismatik mengenai logos yakni firman yang ditulis dan rhema yakni firman yang berbicara secara pribadi kepada kita, pada saat membaca dan mendengarkan perkataan Alkitab. Teologi Reformed menerima bahwa seluruh bagian Alkitab berbicara kepada kita pada saat membaca dan mendengarkan dan mempelajarinya, karena seluruhnya adalah Firman Allah.

3. Alkitab adalah firman Allah, tetapi masih terbuka untuk wahyu baru. Wahyu baru masih diberikan Allah pada zaman ini melalui hamba-hamba Tuhan. Pandangan ini adalah pandangan golongan Kharismatik. Kesalahan pandangan ini adalah: a. Jika wahyu baru masih ada, maka posisi Alkitab menjadi tidak mutlak dan belum sempurna. Jika demikian, bagaimana mungkin Alkitab bisa menjadi standar iman pengajaran Kristen. b. Menerima adanya wahyu baru menjadikan kebenaran bersifat subyektif, karena masing-masing hamba Tuhan mengklaim mendapatkan wahyu dari Tuhan. Siapakah yang akan mengujinya? Jika golongan Kharismatik berkata bahwa Alkitab menjadi pengujinya, maka seharusnya wahyu baru tidak perlu, karena secara logis, kita harus memegang yang standar dan tidak memerlukan wahyu yang baru atau standar yang lain yang perlu diuji lagi oleh Alkitab. Pandangan Kharismatik ini sebenarnya adalah bentuk penolakan terhadap Alkitab yang sudah diwahyukan oleh Allah.

4. Alkitab bukan firman Allah, (the Bible is not the word of God). Pandangan ini adalah pandangan dari orang-orang liberal ekstrim dan juga dari agama-agama lain.

5. Alkitab adalah firman Allah, (the Bible is the Word of God). Pandangan ini adalah pandangan orang-orang Reformed dan golongan Injili. Alkitab adalah firman Allah karena seluruh bagiannya telah diwahyukan dan diinspirasikan oleh Allah. A. A. Hodge mengatakan bahwa, ada dua pendapat mengenai Alkitab ( waktu itu Neo-Ortodoks dan Gerakan Kharismatik belum ada) yaitu: Kitab Suci berisi Firman Allah (The Scripture contain the Word of God) dan Kitab Suci adalah firman Allah (the Scripture are the Word of God). Dia mengatakan bahwa jika Alkitab hanya mengandung (contain) Firman Allah, maka Alkitab tidak dapat menjadi hukum yang tidak dapat salah atas iman dan praktek, karena kita mengakui dua instrumen manusia dan dapat bersalah, 1) dari kritik tinggi (higher critisism) dan 2) hati nurani orang Kristen (Christian consciousness), untuk menetapkan elemen-elemen apakah yang hanya merupakan kata-kata manusia. Tetapi Gereja selalu memegang bahwa Alkitab adalah Firman Allah. Hal ini berarti bahwa, walaupun kitab-kitab ini dihasilkan melalui agen manusia, Allah telah, 1) mengontrol sedemikian rupa kejadian atau terjadinya dan 2) mengesahkan sedemikian mutlak akibatnya, bahwa Alkitab dalam setiap kalimat dan setiap kata, baik dalam materi dan bentuknya (matter and form) adalah sungguh-sungguh Firman Allah yang disampaikan kepada kita.
Di bawah ini kita akan melihat apakah pengertian dari wahyu dan inspirasi.

PEWAHYUAN (REVELATION)

Menurut B.B. Warfield, English Bible (AV/KJV), memunculkan kata wahyu (reveal) sebanyak 51 kali, dalam PL 22 kali dan PB 29 kali. Kata ini dalam bahasa Ibraninya adalah galah yang arti dasarnya adalah ketelanjangan (nakedness). Jika dikenakan pada pewahyuan maka berarti menghilangkan rintangan untuk mengamati atau membuka penutup suatu obyek untuk mengamatinya. Kata yang mirip dengan istilah Ibrani di atas adalah apokalupto dalam bahasa Yunani yang berarti penyingkapan.

Berkenaan dengan Alkitab maka, pewahyuan (revelation) berarti penyingkapan kebenaran oleh Allah kepada para nabi PL dan rasul PB, untuk ditulis menjadi kitab-kitab seperti yang sudah terdapat dalam Alkitab.

Akibat dari pewahyuan adalah menjadikan para nabi dan para rasul lebih bijaksana sehingga mereka mengerti firman, kehendak, serta rencana Allah. Penulis Alkitab yang bukan nabi maupun rasul, seperti penulis kitab Ester (yang diperkirakan ditulis Mordekhai) atau Lukas penulis Injil Lukas dan Kisah Para Rasul, tidak mendapat wahyu dari Tuhan, tetapi mendapatkan ilham sehingga mereka menulis. Hanya nabi dan rasul yang mendapatkan wahyu.

Beda pewahyuan dan pengilhaman adalah seperti yang dijelaskan oleh Charles Hodge berikut ini. Wahyu dan ilham pertama-tama berbeda dalam obyeknya. Obyek wahyu adalah pengkomunikasian pengetahuan, sedangkan obyek dari ilham adalah untuk mengamankan pengajaran. Konsekuensi dari perbedaan ini adalah timbulnya perbedaan yang kedua, yaitu dalam hal akibatnya. Akibat dari wahyu adalah menyebabkan penerima wahyu menjadi lebih bijaksana, sedangkan akibat dari ilham adalah menyebabkan penerima wahyu tadi dijaga dari kesalahan di dalam pengajarannya.

PENGILHAMAN (INSPIRATION)

Istilah ilham di dalam Alkitab diambil dari II Tim. 3:16. Di situ dikatakan : “Segala tulisan yang diilhamkan Allah…. .” Kata “diilhamkan Allah” di ayat tersebut berasal dari kata Yunani “Theo pneustos” yang berarti dihembuskan Allah. Penekanannya adalah ‘dihembuskan keluar’ (breath out) yang menunjukkan bahwa penulisan Alkitab adalah karya Allah yang menghembuskan keluar firman-Nya, untuk ditulis oleh manusia. Sebenarnya istilah ilham atau inspiration adalah istilah yang kurang tepat untuk hal ini, karena istilah tersebut lebih menunjuk kepada “menghirup kedalam”. Tetapi istilah ini sudah menjadi istilah teologi yang umum. Seharusnya istilah expiration lebih tepat untuk dipakai.

Warfield berkata bahwa istilah Theo pneustos tidak berarti diilhamkan dari Allah (inspired of God), atau dihembuskan ke dalam oleh Allah (breathed into by God), tetapi dihembuskan keluar oleh Allah (breathed out by God). Istilah ini menunjukkan bahwa Alkitab adalah sebuah produksi ilahi tanpa ada indikasi bagaimana Allah melakukannya di dalam memproduksinya.

Catatan:

Ada sekitar 4 kali Alkitab bersaksi tentang hembusan nafas Allah. Yang pertama ketika penciptaan manusia dan malaikat (kej. 2:7; Maz. 33:6). Hembusan ini adalah hembusan untuk memberi roh hidup ke dalam diri manusia dan malaikat. Ini adalah hembusan penciptaan. Hembusan kedua, terdapat dalam Yoh. 20:22, di mana Kristus menghembusi murid-murid dengan Roh Kudus. Hal ini berkenaan dengan pemberian Roh Kudus kepada gereja dan tentu berkaitan dengan baptisan Roh Kudus dan kelahiran kembali orang-orang pilihan Allah serta pengutusan para rasul untuk mendirikan Gereja Perjanjian Baru. Hembusan ketiga, dalam II Tim. 3:16, berkenaan dengan pemberian firman kepada orang-orang pilihan/gereja Tuhan. Mereka yang sudah diciptakan (hembusan I), tetapi sudah jatuh dalam dosa dan mati, dan yang sekarang telah dihidupkan kembali (hembusan II), harus diberi makan firman-Nya (hembusan III). Hembusan yang terakhir dalam II Tes. 2:8, merupakan hembusan bagi Iblis dan pengikutnya serta mereka yang tidak dipilih dan telah menolak Dia. Ini adalah hembusan murka-Nya, dimana musuh segala kebenaran dijatuhkan dan ditegakkannya kerajaan Allah yang kekal di dalam segala kepenuhan-Nya.

Fungsi dari pengilhaman adalah untuk mengamankan penulisan Alkitab dari kesalahan dan kesesatan. Semua penulis Alkitab, baik nabi-nabi atau rasul-rasul mau pun orang-orang yang berada di bawah wibawa mereka, menulis tanpa salah dan tidak sesat karena mendapat ilham dari Allah. Para nabi dan rasul mendapat wahyu dan ilham dari Allah, sedangkan penulis lain yang tidak termasuk ke dalam golongan nabi maupun rasul tetapi yang berada di bawah wibawa para rasul atau nabi, hanya mendapat ilham saja. Misalnya penulis kitab Ester yaitu Mordekhai di dalam PL dan penulis Injil Lukas dan Kisah Para Rasul yaitu Lukas di dalam PB.

Natur Pengilhaman (inspirasi)

Sekarang kita akan melihat natur dari pengilhaman. Menurut Berkhof, ada dua pandangan yang salah dalam hal ini, yaitu:

a. Pengilhaman mekanik. Pengilhaman mekanik adalah pemahaman bahwa Allah bertindak mendikte secara langsung para penulis Alkitab untuk menulis, dan mereka pasif dalam hal ini.

b. Pengilhaman dinamik. Pemahaman ini mengatakan bahwa mental dan kerohanian para penulis diangkat ke tingkat yang lebih tinggi, sehingga mereka melihat hal-hal rohani dengan lebih jernih dan memiliki perasaan yang lebih dalam mengenai kerohanian mereka. Tetapi kedua pandangan ini salah, dan yang benar adalah pandangan dalam poin c berikut ini.

c. Pengilhaman organik. Pemahaman ini mengatakan bahwa Roh Kudus menggunakan cara organik ketika menggerakkan penulis Alkitab. Roh memakai mereka seperti apa adanya mereka, sesuai dengan karakter dan temperamen mereka, karunia dan bakat mereka, pendidikan dan budaya mereka, kata-kata dan gaya mereka. Roh Kudus mengiluminasikan kepada mereka, bahkan mengenai kata-kata apa yang mereka gunakan.

Karena itu kita bisa memberikan kesimpulan bahwa inspirasi organik berarti, Allah melalui Roh Kudus-Nya memberikan inspirasi (ilham) kepada penulis kitab-kitab dalam Alkitab sehingga mereka menulis tanpa salah dalam setiap katanya (lih. inspirasi verbal di bawah ini), tetapi tidak dengan cara mendikte satu persatu apa yang mereka harus tulis, melainkan memberikan kebebasan penuh atas keterlibatan penulis Alkitab, baik dalam hal pikiran dan karakter, situasi mereka ketika menulis, budaya mereka bahkan gaya penulisan mereka. Teologi Reformed memegang posisi ini.

W. Gary Crampton, menyebutkan sekitar 6 pandangan yang salah mengenai inspirasi, yaitu pandangan:

1. Dinamis (sama seperti kesalahan yang dinyatakan Berkhof di atas).
2. Parsial. Yaitu inspirasi pada bagian-bagian tertentu saja dalam Alkitab.
3. Konseptual. Bahwa yang diinspirasikan hanya konsep-konsep saja, bukan kata-katanya.
4. Alami. Bahwa para penulis hanya dianggap sebagai orang yang sangat jenius dan karya mereka tidak berasal dari Allah.
5. Dapat salah. Alkitab walaupun diinspirasikan, tetapi dapat salah.
6. Neo Ortodoks. Alkitab ditulis oleh manusia yang sudah jatuh, maka pasti mengandung kesalahan.

2. Keluasan Inspirasi

Mengenai keluasan dari pengilhaman Alkitab, ada satu pandangan yang salah berkenaan dengan hal ini yaitu pandangan inspirasi parsial seperti yang sudah saya kutip W. Gary Crampton di atas. Sedangkan dua istilah yang berikut adalah pandangan yang benar mengenai keluasan dari inspirasi, yaitu inspirasi secara keseluruhan (plenary inspiration)dan inspirasi verbal (verbal inspiration). Plenary inspiration adalah keyakinan bahwa seluruh bagian Alkitab diinspirasikan oleh Allah, seperti yang dikatakan oleh Paulus dalam II Timotius 3:16 dan Petrus di dalam II Petrus 3: 16. Sedangkan Verbal inspiration adalah bahwa setiap kata dalam Alkitab diinspirasikan, sehingga tidak ada kata-kata yang salah atau sia-sia (tidak berarti).

Oleh karena seluruh bagian Alkitab dan juga kata demi kata diinspirasikan dan diwahyukan oleh Allah, maka Alkitab adalah firman Allah. Orang percaya harus menerima fakta bahwa seluruh bagian Alkitab, 39 kitab Perjanjian Lama, dan 27 kitab Perjanjian Baru, adalah firman Allah, karena dihembuskan keluar dari mulut Allah sendiri (theopneustos).

KETIDAKBERSALAHAN &KETIDAKTERSESATAN

Karena Alkitab diwahyukan dan diinspirasikan sepenuhnya oleh Allah, maka kaum Reformed dan orang-orang Injili berpendapat bahwa Alkitab adalah firman Allah. Kaum Reformed dan Injili, menerima ketidakbersalahan (inerrant) Alkitab serta layak dipercayanya atau ketidaktersesatan (infallible) Alkitab. Hal ini tentu di dalam teks aslinya (autographa). W. Gary Crampton mengatakan bahwa istilah infallible menyangkut otoritas Alkitab yang tanpa cacat, tanpa cela, mutlak dan mencakup seluruhnya, sedangkan istilah inerrant adalah bahwa Alkitab mempunyai kualitas yang bebas dari kesalahan. Alkitab bebas dari kemungkinan kesalahan; Alkitab tidak mungkin salah; Alkitab tidak mengatakan yang bertentangan dengan kenyataan; Alkitab mencatat sejarah dengan sempurna.

AUTHOGRAPHA

Pandangan Reformed dan Injili menekankan bahwa Alkitab yang tidak salah dan tidak menyesatkan (inerrant and infallible), tetapi semuanya sepakat bahwa hal ini hanya berlaku di dalam teks aslinya saja. Sedangkan salinan-salinan dan terjemahan, sangat mungkin terjadi kesalahan penulisan dan penerjemahannya. Permasalahan yang timbul dari hal ini adalah bahwa Alkitab yang authographa sudah tidak ada lagi, sedangkan yang tinggal hanya salinan-salinan. Jikalau yang asli sudah tidak ada, maka bagaimana bisa membuktikan bahwa salinan-salinan yang ada sekarang ini otoratif?

Frame berkata bahwa teolog Reformed tradisional telah berargumentasi mengenai ketidakbersalahan Alkitab hanya mencakup authographa bukan salinan-salinannya, sehingga banyak kalangan yang keberatan. Jika hal ini benar maka yang ada sekarang tidaklah infallible, melainkan hanya bisa cukup bisa diandalkan.

Mengenai hal ini Frame mengutip ilustrasi Van Til di dalam An Introduction to Systematic Theology, yaitu ilustrasi jembatan yang tertutup oleh air. Van Til mengatakan bahwa kita dapat mengemudi dengan aman di dalam air sedalam beberapa inci jika kita memiliki permukaan yang solid di bawah permukaan air tersebut. Menyatakan bahwa Alkitab bisa diandalkan meskipun tidak memiliki pengilhaman yang infallible, sama artinya dengan mengemudi melalui air, tidak membedakan apakah ada dasar yang solid atau tidak.
Tidak adanya autographa, tidak berarti bahwa Alkitab yang dipegang oleh orang percaya salah dan tidak otoratif. Benar bahwa Alkitab salinan dan terjemahan mungkin memiliki kesalahan penyalinan dan penerjemahan, tetapi tidak mempengaruhi konsep kebenaran utuh yang disampaikannya.

Kita memiliki tiga alasan untuk keyakinan ini, yakni:

1. Sekarang kita menemukan begitu banyak versi terjemahan. Jika seluruhnya dikumpulkan dan dibandingkan, maka jika ada salah satu versi yang secara menyolok berbeda dari semua versi lainnya dalam menyampaikan konsep kebenaran, maka versi tersebut layak untuk diragukan otoritasnya. Mis. Alkitab versi Saksi Yehovah. Sangat disayangkan bahwa ada golongan Reformed yang memiliki jiwa Fundamentalisme serta orang-orang Injili Fundamental tertentu, yang mengklaim bahwa versi King James adalah satu-satunya versi yang otoritatif. Ini sama sekali keliru. Versi King James juga ada kelemahannya. Sarjana Alkitab seperti Gordon Fee lebih mengunggulkan NIV ketimbang King James. Sebagai orang percaya, apapun versi terjemahan Alkitab kita, apakah itu King James, NIV, ASB, LAI atau yang lainnya, selama tetap setia menyampaikan seluruh konsep kebenaran yang menyangkut keAllahan dan kamanusiaan Kristus dan karya penebusan-Nya, Penciptaan dan kejatuhan manusia yang membutuhkan anugerah dan pertolongan Tuhan, Tritunggal dan doktrin pokok Kristen yang lainnya, tanpa mengabaikan kelemahannya, kita harus menerimanya sebagai firman Allah.

2. Jika kita sungguh-sungguh percaya bahwa Alkitab yang asli sungguh-sungguh ada, walaupun sekarang sudah hilang, maka seperti argumen Van Til di atas, kita mempunyai dasar yang solid untuk Alkitab yang kita pegang sekarang ini. Meragukan Alkitab yang kita pegang sekarang ini, sama artinya dengan menolak bahwa Alkitab yang authographa sungguh-sungguh ada. Dari manakah Alkitab yang sudah disalin dalam banyak versi dan diterjemahkan juga dalam banyak versi, yang secara keseluruhan menyampaikan konsep kebenaran yang sama, kalau tidak berasal dari satu sumber yang sungguh-sungguh ada? Menolak authographa adalah hal yang sangat mustahil. Ini sama halnya jika kita menolak bahwa kita seluruh ras manusia berasal dari nenek moyang yang sama, yaitu Adam. Darwin percaya bahwa kita dari monyet, tetapi teori ini dapat dengan mudah kita patahkan.

3. Jika kita percaya bahwa Alkitab adalah kitab yang dihembuskan oleh Allah atau bahwa Allah adalah penulis Alkitab, tidakkah Dia juga sanggup menjaga dan memelihara kitab yang sudah ditulis-Nya? Jikalau kita menerima kedaulatan Allah dalam segala hal, maka kita juga harus menerima kedaulatan-Nya terhadap Alkitab, baik dalam penulisannya maupun di dalam pemeliharaan akan keberlangsungannya selama Tuhan melihat bahwa Alkitab masih dibutuhkan oleh umat manusia.

KANONISASI

Salah satu hal yang paling penting di dalam membicarakan Alkitab adalah masalah kanonisasi. Kata kanon, seperti dikutip oleh F.F. Bruce dari R.P.C. Hanson, memiliki arti yang sederhana yaitu daftar buku yang dimuat di dalam Alkitab, atau di dalam konteks Kristen boleh didefinisikan kata itu sebagai daftar dari tulisan-tulisan gereja sebagai sebuah dokuman dari inspirasi ilahi.

Kata kanon berasal dari kata Yunani kanon yang berarti batang, tangkai atau tongkat, secara khusus tongkat yang lurus sebagai sebuah pengukur. Dari penggunaan ini datang arti lain yang umumnya terkandung di dalam bahasa Inggris ‘rule’ atau ‘standard.’
Siapakah yang berhak mengumpulkan dan menentukan kitab-kitab dalam Alkitab seperti yang kita ketahui sekarang yakni 66 kitab, dan atas otoritas siapakah mereka melakukan hal itu? Ada satu prinsip yang sangat penting yang ditulis Paul Little di dalam bukunya Know What You Believe, yaitu bahwa di dalam proses kanonisasi harus disadari bahwa sebuah kitab adalah kitab yang diinspirasikan dengan menggolongkan kitab itu ke dalam kanon. Penggolongan ke dalam kanon hanyalah pengenalan otoritas sebuah kitab yang sudah dimilikinya.

Jika sebuah kertas berwarna putih, maka warna putih dari kertas tersebutlah yang membuat kita mengatakan bahwa kertas itu putih dan bukan karena kita mengatakan kertas itu berwarna putih sehingga menjadi putih. Demikianlah dengan proses kanonisasi. Bukan bapa-bapa gereja yang menentukan sebuah kitab masuk ke dalam kanon atau tidak. Mereka sama sekali tidak memiliki otoritas untuk itu. Tetapi kitab-kitab tersebutlah yang menyatakan diri mereka firman Allah. Bapa-bapa gereja hanyalah mengumpulkan mana kitab-kitab yang berotoritas ilahi dan menyisihkan mana yang tidak.

Alkitab Perjanjian Lama tidak terlalu bermasalah, karena seluruh kitab-kitab Perjanjian Lama sudah diterima dan diakui oleh orang-orang Yahudi, sejumlah yang kita kenal sekarang. Bahkan sekitar tahun 70 sebelum masehi, sudah diterjemahkan oleh sekitar 70 ahli Perjanjian Lama ke dalam bahasa Yunani, di kota Aleksandria, Mesir. Terjemahan tersebut disebut sebagai septuaginta (LXX).
Menurut W. Gary Crampton, kanon Perjanjian Lama sudah lengkap pada tahun 400 sebelum masehi, tetapi menurut Paul Little, kanon perjanjian Lama tidak diketahui dengan pasti kapan sudah lengkap.

Mengenai kanon Perjanjian Baru, H. Berkhof mengatakan bahwa kanon tersebut sudah ditetapkan kira-kira tahun 200 dan secara definitif tahun 380. Sedangkan menurut W. Gary Crampton, Kanonisasi terakhir terjadi pada tahun 397 masehi di konsili Kartago.
Crampton juga menyatakan bahwa Perjanjian Lama diterima oleh bapak-bapak gereja pada saat kanonisasi karena, kepenulisannya bersifat kenabian, penerimaan oleh agama dan orang Yahudi secara Historis dan konsistensi doktrin dalam keseluruhan Perjanjian Lama. Kemudian Perjanjian Baru juga sama yaitu, bersifat kerasulan, penerimaan oleh gereja mula-mula, dan konsistensi doktrin serta keselarasan Alkitab.

Dalam bukunya Little, seperti yang dikutipnya dari J.N. Birdsell, Canon of The New Testament, kanon Perjanjian Baru dikonfirmasikan pada saat konsili di Kartago tahun 397 dengan mengunakan tiga kriteria yaitu:

1. Apakah kitab itu bersifat kerasulan dari awalnya?
2. Apakah kitab itu digunakan dan dikenali oleh gereja-gereja?
3. Apakah kitab tersebut mengajarkan doktrin yang benar?

Yang pertama, apakah bersifat kerasulan atau tidak? Hal ini berarti bahwa kitab-kitab tersebut harus ditulis oleh rasul-rasul Yesus Kristus sendiri yaitu keduabelas rasul dan rasul Paulus (Yudas tentu tidak termasuk ke dalam golongan ini, jabatannya sudah diganti oleh Matias, Kis. 1:26), yang juga mendapat panggilan langsung dari Tuhan di dalam perjalanannya ke Damsyik, Kis. 9:3-6. Bandingkan juga dengan I&II Kor. 1:1;Gal. 1:1; Ef.1:1; I&II Tim.1:1; Tit.1:1.

Tetapi ada juga kitab-kitab yang tidak ditulis oleh rasul-rasul sendiri, seperti kitab Injil Markus yang ditulis Markus, Injil Lukas dan Kisah Para rasul yang ditulis oleh Lukas serta surat Yakobus dan Yudas yang ditulis oleh Yakobus dan Yudas saudara-saudara Tuhan Yesus. Mereka semua bukanlah rasul tetapi mereka menulis di bawah pengaruh rasul-rasul.

Markus pernah berada di bawah pengaruh Paulus karena pernah menyertai Paulus di dalam perjalanannya, yang menjadi penyebab perselisihan antara Paulus dan Barnabas. Kis. 15:37-40. Secara khusus ketika Markus menulis Injil Markus, dia berada di bawah pengaruh dan bimbingan rasul Petrus. Sedangkan Lukas adalah rekan Paulus. Tidak diragukan lagi bahwa dia berada di bawah pengaruh dan bimbingan Paulus. Yakobus dan Yudas yang pada awalnya tidak percaya kepada Yesus, Yoh. 7:3-5, pada akhirnya mereka menjadi percaya, dan sejak mula mereka berada bersama-sama rasul-rasul di Yerusalem, Kis. 1:14.
Mengenai kitab Ibrani, yang penulisnya tidak mencantumkan nama, jika Paulus yang menulisnya, tidak ada masalah. Tetapi Jika Apolos, seperti pendapat sebagian ahli PB, maka kita dapat berargumen bahwa dia berada di bawah pengaruh Paulus. Hal ini bisa kita lihat dari dua hal yaitu:

1. Paulus menyebut Apolos di dalam suratnya, yang secara tidak langsung meneguhkan pelayanan Apolos dan kedekatan Paulus dengannya. Pertama, di dalam I Kor. 3:4-6. Walaupun tulisan Paulus ini untuk mengecam dan menyelesaikan perselisihan jemaat Korintus, tetapi Paulus mengatakan bahwa dirinya yang menanam dan Apolos yang menyiram. Pernyataan ini langsung meneguhkan kredibilitas pelayanan Apolos. Kedua, I Kor. 16:12. Di dalam ayat ini Paulus menulis bahwa ia mendesak Apolos untuk datang ke Korintus. Ini menunjukkan bahwa mereka memiliki hubungan yang erat sekali di dalam pelayanan.

2. Konsep teologi Apolos pernah diluruskan oleh Priskila dan Akwila. Kita tahu bahwa Priskila dan Akwila adalah rekan pelayanan Paulus yang sangat dekat. Mereka dan Paulus, sama-sama pembuat tenda, Kis. 18:2-3. Doktrin atau teologi Priskila dan Akwila pasti dibentuk oleh pengajaran Paulus. Jadi, kedekatan antara Apolos dengan Priskila dan Akwila, menjadikan Apolos secara tidak langsung berada di bawah pengaruh bahkan bimbingan Paulus. Sehingga seandainya jika bukan Paulus yang menulis kitab Ibrani tetapi Apolos, maka tetap tidak menjadi masalah. Ke 27 kitab PB, lulus di dalam ujian yang pertama ini.

Yang Kedua, apakah kitab-kitab tersebut dikenali dan digunakan oleh gereja-gereja saat itu? Pengakuan adalah penting sekali. Jika sebuah kitab hanya diakui dan digunakan oleh sebuah jemaat saja, maka otoritas dari kitab tersebut patut dipertanyakan. Jika kitab itu sungguh-sungguh firman Allah, maka tentu dikenal dan digunakan secara luas oleh gereja-gereja saat itu. 27 kitab PB adalah kitab-kitab yang sudah lulus ujian ini.Yang Ketiga, apakah kitab-kitab itu, mengajarkan doktrin yang benar? Banyak kitab-kitab apokrifa yang ditulis pada abad kedua, yang masih mirip dengan kanon, tetapi di dalamnya ada muatan-muatan ajaran gnostik dan panteisme. Itu sebabnya injil-injil palsu seperti injil Thomas, injil Yudas, injil Maria Magdalena dan lain-lain, bahkan yang muncul paling belakangan yaitu injil Barnabas, kita tolak. Tetapi, ke 27 kitab PB yang menjadi kanon, sangat sepakat di dalam doktrin yang disuarakannya. Itu sebabnya, kitab-kitab itu lulus juga pada ujian ini.

BEBERAPA PENDAPAT

Martin Luther

Althaus mengatakan bahwa kita tidak dapat mendiskusikan pengertian Luther mengenai iman tanpa mengacu kepada firman Allah, sebaliknya juga kita tidak dapat menbicarakan firman Allah tanpa mengacu iman. Ini berarti bahwa menurut Althaus, Luther sangat menekankan keterkaitan antara Alkitab dan iman. Selanjutnya Luther juga melihat bahwa seluruh Alkitab merupakan sebuah kesatuan besar dan hanya memiliki satu isi yaitu Kristus. Dia mengatakan seperti dikutip oleh Althaus bahwa tidak diragukan lagi, seluruh Alkitab menunjuk hanya kepada Kristus. Keluarkan Kristus dari Alkitab, maka apa lagi yang engkau akan temukan di dalamnya? Seluruh Alkitab hanya menulis tentang Kristus. Selanjutnya menurut Luther, Alkitab berisi baik Hukum Taurat maupun Injil, dan Kristus sendirilah penafsir dari Hukum Taurat. Sejauh mana Alkitab mengetengahkan Hukum Taurat, maka hal itu menarik manusia kepada Kristus.

Mengenai keabsahan atau otoritas Alkitab, Luther menghubungkan hal itu dengan isinya yaitu Kristus. Dia berkata bahwa jika Kristus adalah isi Alkitab, ini berarti bahwa di dalam Roh Kudus Kristus mengabsahkan diri-Nya kepada manusia sebagai satu-satunya kebenaran dan oleh karena itu mengabsahkan Kitab Suci.

Mengenai penafsiran Alkitab, Luther mengemukakan satu hukum penafsiran yang juga berlaku untuk semua buku yaitu, menafsirkan sesuai dengan jiwa dan semangat dari penulisnya. Karena semangat dari penulis dapat dikenal dari tulisan-tulisannya, maka hal ini berarti bahwa sebuah tulisan harus menafsirkan dirinya sendiri. Jika ini benar bagi semua buku maka berlaku juga bagi Alkitab. Alkitab adalah otoritas final dan hakim yang tertinggi. Jikalau otoritas-otoritas lain menjelaskan mengenai Alkitab, maka otoritas-otoritas itu juga mengabsahkan Alkitab, sehingga Alkitab akan hilang otoritas finalnya. Pengabsahan Alkitab atas dirinya sendiri juga meliputi penafsiran atas dirinya sendiri. Dengan demikian maka Luther menegakkan semboyan Alkitab ditafsirkan dengan Alkitab atau Alkitab menafsirkan dirinya sendiri.

Mengenai kaitan antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, Luther mengatakan bahwa hal ini dikarasteristikkan oleh baik kesatuan maupun perbedaan. Bagi Luther, perbedaan yang paling menentukan di dalam firman Allah adalah perbedaan antara Hukun Taurat dan Injil, tetapi perbedaan ini tidak lantas menunjukkan perbedaan antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, karena hukum maupun Injil terkandung di dalam dua kitab tersebut.

John Calvin

John H. Leith mengutip pendapat B.B. Warfield di dalam bukunya Calvin and Calvinism, yang menurut Warfield, Calvin mengajarkan mengenai Alkitab yang bebas dari seluruh kesalahan. Ini berarti bahwa Calvin percaya ketidakbersalahan Alkitab, sebuah topik yang menjadi perdebatan antara orang-orang Modernisme dengan para teolog Old Princeton yang memuncak pada B.B. Warfield.
Calvin dalam Institutes buku yang pertama bab VII mengatakan bahwa Alkitab adalah satu-satunya rekaman di mana Allah senang untuk menyampaikan kebenaran-Nya sebagai peringatan yang kekal. Otoritas penuh yang mereka (maksudnya kitab-kitab dalam Alkitab) miliki tidak dapat dikenal jika tidak dipercayai datang dari sorga, sama langsungnya jika Allah telah terdengar mengatakannya kepada mereka. Dari kutipan ini, dapat disimpulkan bahwa otoritas Alkitab menurut Calvin diteguhkan oleh Allah sendiri sebagai pemberi Alkitab.

Selanjutnya dia mengatakan bahwa karena hanya Allah saja yang selayaknya memberi kesaksian terhadap firman-Nya, maka firman ini tidak mendapat penghargaan yang penuh di dalam hati manusia, sampai mereka dimeteraikan oleh kesaksian di dalam oleh Roh Kudus. Karena itu Roh yang sama yang berbicara melalui mulut para nabi, harus meresapi hati kita, supaya meyakinkan kita bahwa kitab-kitab itu setia dalam menyampaikan pesan yang mana mereka dipercaya secara ilahi. Jadi bagi Calvin, Alkitab dan kesaksian Roh Kudus di dalam hati orang percaya yang meneguhkan bahwa Alkitab adalah sungguh-sungguh firman Allah, tidak dapat dipisahkan. Alasannya adalah bahwa jika Roh Kudus yang memakai para penulis Alkitab sehingga mereka menuliskan firman-Nya, maka Roh Kudus pula yang memberikan kesaksian di dalam hati manusia bahwa Alkitab sungguh-sungguh firman Allah.
Mengenai pendapat Calvin ini, De Jonge memberikan penjelasan demikian:

… bagaimana “para rasul dan nabi ” sebagai manusia yang fana dapat menulis sesuatu yang berwibawa sebagai firman Allah. Di sini Calvin menunjuk pada peran menentukan yang dimainkan oleh Roh Kudus. Roh Kuduslah yang menyakinkan orang bahwa Alkitab adalah firman Allah. Bahwa Alkitab adalah firman Allah, disaksikan dalam batin manusia oleh Roh Kudus sendiri. Tetapi, kalau demikian, bagaimana kita menerima kesaksian Roh Kudus yang batiniah, testimonium spiritus sancti internum (juga arcanum, rahasia) ini? Di sini Calvin diajak untuk bertindak secara bijaksana, sebab pada zamannya ada orang yang mengatakan bahwa Roh Kudus langsung bekerja dalam hati orang percaya, sehingga mereka sebenarnya tidak memerlukan firman Allah yang tertulis. Untuk menjawab kaum spiritualis (dari spiritus, Roh) ini, Calvin berkata bahwa Roh Kudus bersaksi melalui Alkitab, kata-kata yang ditulis oleh “para rasul dan nabi.” Roh Kudus menggerakkan penulis-penulis Alkitab untuk menulis hal-hal yang bukan berasal dari mereka sendiri, malainkan dari Allah. Demikianlah kesaksian manusia menjadi kesaksian Roh Kudus. Dapat dikatakan juga bahwa Alkitab menjadi alat Roh Kudus untuk menyampaikan firman Allah. Kata-kata manusia di dalamnya dipakai oleh Roh Kudus untuk menyampaikan firman Allah, dan Roh kudus sekaligus menggerakkan hati para pembaca untuk memperoleh dari tulisan-tulisan manusiawi kebenaran ilahi.

Mengenai kaitan Alkitab dan kehidupan Kristen, Calvin berkata bahwa kebutuhan manusia untuk pengetahuan mengenai kehidupan Kristen ditemukan melalui wahyu Allah di dalam Yesus Kristus, di dalam Hukum Taurat dan Alkitab. Calvin secara bervariasi menunjukan bahwa ketiga hal tersebut adalah norma dari kehidupan Kristen, tetapi dia tidak memisahkan ketiganya sebagai sesuatu yang berdiri sendiri. Yesus Kristus adalah penggenap Hukum Taurat dan pengakuan kita mengenai Yesus Kristus dan Hukum Taurat datang dari Alkitab.

Charles Hodge

Charles Hodge adalah seseorang profesor teologi di seminari Princeton pada abad 19. Dia mengatakan bahwa semua orang Protestan mengajarkan mengenai firman Allah yang ditulis di dalam Alkitab yaitu Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru sebagai satu-satunya hukum yang tidak dapat salah bagi iman dan hidup. Berikut penjelasan Hodge atas pernyataan atas keyakinan Protestan di atas:

1) That the Scriptures of the Old and New Testaments are the Word of God, written under the inspiration of the Holy Spirit, and are therefore infallible, and of divine authority in all things pertaining to faith and practice, and consequently free from all error wether of doctrine, fact, or precept. 2) That they contain all the extant supernatural revelation of God designed to be a rule of faith and practice to His church. 3) That they are sufficiently perspicuous to be understood by the people, in the use of ordinary means and by the aid of the Holy Spirit, in all things necessary to faith or practice, without the need of any infallible interpreter. (Bahwa kitab-kitab Perjanjian Lama dan Baru adalah firman Allah, ditulis di bawah inspirasi dari Roh Kudus, dan oleh karenanya sempurna, dan oleh otoritas ilahi di dalam segala hal berkenaan dengan iman dan praktek, dan akibatnya bebas dari segala kesalahan apakah itu doktrin, fakta, maupun ajaran. 2) Bahwa kitab-kitab itu mengandung semua wahyu supranatural Allah yang masih ada yang didesain untuk menjadi hukum atas iman dan praktek bagi gereja-Nya. 3) Bahwa kitab-kitab itu cukup jelas untuk dimengerti oleh manusia, di dalam penggunaannya yang biasa dan oleh pertolongan Roh Kudus, di dalam segala hal yang penting untuk iman maupun praktek, tanpa memerlukan seseorang penafsir yang tidak bersalah.)

Hodge menyimpulkan bahwa ketidakbersalahan Alkitab dan otoritas ilahinya adalah berasal dari fakta bahwa Alkitab adalah firman Allah dan bahwa Alkitab adalah firman Allah karena diberikan melalui inspirasi Roh Kudus.

B.B. Warfield

Warfield memahami Alkitab sebagai perkataan Allah sendiri. Dia mengatakan bahwa ada dua golongan di dalam pasal-pasal Alkitab. Golongan yang pertama di mana pasal-pasal Alkitab tersebut berbicara seolah-olah mereka adalah Allah, dan golongan yang lain, Allah berbicara seolah-olah Dia adalah Alkitab. Di dalam keduanya, Allah dan Alkitab dibawa ke dalam hubungan ketika menunjukan bahwa dalam poin yang bersifat langsung dari otoritas tidak ada perbedaan dibuat di antara mereka.

Dia memberikan contoh mengenai kedua golongan di atas sebagai berikut, untuk golongan yang pertama dia mengambil Galatia 3: 8, “Dan Kitab Suci yang sebelumnya mengetahui, bahwa Allah membenarkan orang-orang bukan Yahudi oleh karena iman, telah terlebih dahulu memberitakan Injil kepada Abraham: “Olehmu segala bangsa akan diberkati.” Kemudian dari Roma 9:17, “Sebab Kitab Suci berkata kepada Firaun: Itulah sebabnya Aku membangkitkan engkau, yaitu supaya Aku memperlihatkan kuasa-Ku di dalam engkau, dan supaya nama-Ku dimashyurkan di seluruh bumi.” Menurut Warfield kutipan-kutipan Alkitab di atas memperlihatkan kepada kita bahwa Alkitab berbicara seolah-olah mereka adalah Allah sendiri.

Kemudian golongan kedua, Warfield mengambil contoh sebagai berikut, Matius 19: 4, 5; Jawab Yesus: “Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan? Dan firmanNya: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging.” Masih ada ayat-ayat lain lagi yang menjadi contoh golongan kedua ini yaitu Ibrani 3:7; Kisah Para Rasul 23 : 34, 35 dan lain-lain. Di dalam golongan yang kedua terlibat bahwa Allah sendiri bersikap seolah-olah Ia adalah Kitab Suci. Dari pendapat Warfield ini, kita bisa menyimpulkan bahwa menurutnya Alkitab adalah perkataan Allah sendiri.


Sola Scriptura

“Unless I am convinced by Sacred Scriptura or by evident reason, I will not recant. My consience is held captive by the Word of God and to act against conscience is neither right nor safe.”

Kata-kata ini diucapkan oleh Martin Luther pada 18 April 1521 ketika ia diajukan pada sidang kekaisaran di kota Worms di hadapan kaisar Charles V yang menjadi penguasa Jerman (dan beberapa bagian Eropa lainnya) pada saat itu, serta di hadapan para pemimpin gerejawi. Luther dipanggil ke kota ini dengan tujuan supaya ia menarik kembali perkataan dan pengajarannya. Ia diminta mengaku salah di depan publik untuk apa yang ia tuliskan dan ajarkan tentang Injil, keselamatan melalui iman, dan hakikat gereja. Tetapi ia tidak bersedia melakukannya.**1

Mengapa Luther tidak bersedia? Sebab hati nuraninya dikuasai sepenuhnya oleh firman Tuhan. Ia yakin sepenuhnya bahwa Alkitab dengan jelas mengajarkan kebenaran tentang manusia, jalan keselamatan, dan kehidupan Kristen. Ia melihat bahwa kebenaran-kebenaran yang penting ini sudah dikaburkan dan diselewengkan oleh gereja-gereja pada saat itu, yang seharusnya justru menjadi pembela yang setia. Di mata Luther, dasar penyelewengan gereja pada saat itu adalah pengajaran yang tidak sesuai dengan Alkitab.**2 Ia tidak dapat tahan lagi melihat kerusakan gereja yang telah melawan Alkitab, yang juga sudah mencemari aspek-aspek kehidupan gereja lainnya.

Di sinilah kita melihat sikap Reformasi terhadap Alkitab. Prinsip penting yang ditegakkan dalam gerakan Reformasi adalah Sola Scriptura (hanya percaya kepada apa yang dikatakan oleh Alkitab yang adalah firman Tuhan, karena hanya Alkitab yang memiliki otoritas tertinggi). Kita mengetahui dua ungkapan yang mewakili gerakan Reformasi yaitu Sola Fide dan Sola Scriptura. Sering dikatakan bahwa Sola Fide adalah prinsip material dari pengajaran Reformasi, sedangkan Sola Scriptura adalah prinsip formalnya.**3 Kalau ditelusuri lebih dalam lagi maka jelaslah bahwa prinsip Sola Scriptura ada di balik semua perdebatan mengenai pembenaran melalui iman, karena Luther yakin sekali bahwa kebenaran ini diajarkan di dalam Alkitab.**4

SOLA SCRIPTURA DAN KEWIBAWAAN ALKITAB

Para Reformator tidak pernah berusaha menegakkan doktrin yang baru atau berminat mendirikan gereja yang lain, yang mereka inginkan ialah mereformasi gereja,**5 dalam pengertian mereka ingin menghidupkan kembali kepercayaan-kepercayaan dan praktek-praktek gerejawi yang murni berdasarkan Alkitab. John R. de Witt mengatakan, “The Reformation rediscovered and accentuated afresh the authority of the Bible.”**6 Para Reformator memiliki semangat untuk mengembalikan iman orang Kristen dan kekristenan kepada otoritas Alkitab. John Calvin mengemukakan,

Biarlah hal ini kemudian menjadi suatu aksioma yang pasti: bahwa tidak ada yang lain yang harus diakui di dalam gereja sebagai firman Allah kecuali apa yang termuat, pertama dalam Torah dan Kitab Nabi- nabi, dan kedua dalam tulisan-tulisan para Rasul; dan bahwa tidak ada metode pengajaran lain di dalam gereja yang berlainan dari apa yang sesuai dengan ketentuan dan aturan dari firman-Nya.**7

Prinsip Sola Scriptura dengan jelas mendobrak tirani dari suatu hierarki gerejawi yang sudah “corrupt” karena gereja menempatkan dirinya lebih tinggi dari firman Tuhan. Padahal, berdasarkan Efesus 2:20 dapat dikatakan bahwa otoritas Alkitab sudah lebih dulu ada sebelum gereja berdiri karena gereja didirikan di atas dasar pengajaran para rasul dan para nabi. Pengajaran para rasul dan nabi adalah pengajaran firman Tuhan, yang jelas bukan hanya lebih tua tetapi juga lebih tinggi dari pengajaran gereja. Alkitab mampu memberikan penilaian atas gereja sekaligus memberikan model bagi gereja yang benar.

Para Reformator memiliki pendapat yang tegas bahwa wewenang gereja dan para penjabatnya (para Paus, dewan-dewan dan teolog-teolog) berada di bawah Alkitab. Ini tidak berarti mereka tidak memiliki wewenang. Namun, sebagaimana diungkapkan Alister McGrath, wewenang tersebut berasal dari Alkitab dan berada di bawah Alkitab.**8 Kewibawaan mereka dilandaskan pada kesetiaan mereka pada firman Allah. Selanjutnya McGrath mengatakan, “Bila orang-orang Katolik menekankan pentingnya kesinambungan historis, para Reformator dengan bobot yang sama menekankan makna penting dari kesinambungan ajaran.**9

Jadi, prinsip Sola Scriptura menolak otoritas tradisi gereja yang disetarakan dengan otoritas Alkitab. Sebuah catatan perlu diberikan di sini guna menghindari kesalahpahaman yang sudah cukup umum. Banyak orang berpikir bahwa para Reformator percaya kepada otoritas Alkitab yang tanpa salah, sedangkan gereja Roma Katolik percaya hanya kepada otoritas gereja dan tradisinya yang tanpa salah. Ini suatu kekeliruan. Pada masa Reformasi, kedua pihak sama-sama mengakui otoritas Alkitab.**10 Contohnya, bagi sebagian besar teolog abad pertengahan, Alkitab merupakan sumber yang mencukupi untuk ajaran Kristen.**11 Yang menjadi pertanyaan dan perdebatan ialah: “Is the Bible the only infallible source of special revelation?”**12

Gereja Roma Katolik mengajarkan ada dua sumber wahyu khusus, yaitu Alkitab dan tradisi. Tradisi di sini dimengerti sebagai satu sumber yang berbeda, di samping Alkitab. Alkitab tidak berkata apa-apa mengenai sejumlah pokok masalah atau doktrin, dan Allah telah menetapkan suatu sumber wahyu kedua untuk melengkapi kekurangan ini. Ini adalah suatu tradisi yang tidak tertulis. Jikalau ditelusuri lebih mendalam, tradisi yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya di dalam gereja, itu dianggap berasal dari para rasul. Jadi tradisi yang dimaksud di sini adalah “a separate, unwritten source handed down by apostolic succession.”**13 Dengan demikian, suatu kepercayaan yang tidak ditemukan dalam Alkitab, dapat dibenarkan dengan mengacu pada tradisi yang tidak tertulis tersebut.

Gereja Roma Katolik memberikan otoritas kepada tradisi ini, karena itu mereka tidak mengizinkan siapapun menafsir Alkitab dengan cara yang bertentangan dengan tradisi tersebut. Jelas mereka meninggikan tradisi melebihi Alkitab, bahkan menganggap bahwa Alkitab hanya bisa ditafsirkan dan diajarkan dengan perantaraan Paus atau konsili gerejawi. Para Reformator dengan tegas melawan konsep ini. Dalam perdebatan dengan teolog-teolog Roma Katolik, Luther dengan berani menegaskan bahwa adalah mungkin bagi Paus dan konsili gerejawi untuk melakukan kesalahan.

 

Prinsip Sola Scriptura juga tidak dapat dilepaskan dari masalah kanon Alkitab. Istilah “kanon” (aturan, norma) digunakan untuk merujuk pada kitab-kitab yang oleh gereja dianggap otentik. Bagi teolog-teolog abad pertengahan dan gereja Roma Katolik, yang dimaksud dengan Alkitab ialah karya-karya yang tercakup dalam Vulgata. Di dalamnya terdapat tambahan kitab-kitab yang sering disebut kitab-kitab Apokrifa, yang tidak terdapat dalam PL bahasa Ibrani. Para Reformator tidak setuju dengan adanya tambahan tersebut, dan mereka merasa berwenang untuk mempersoalkan penilaian ini. Menurut mereka, tulisan-tulisan PL yang dapat diakui untuk masuk ke dalam kanon Alkitab hanyalah yang asli terdapat di dalam Alkitab Ibrani.**14 Kitab-kitab Apokrifa memang merupakan bacaan yang berguna, tetapi tidak bisa digunakan sebagai dasar ajaran.**15 Penegasan Sola Scriptura mengakibatkan mereka menyingkirkan semua kitab di luar keenam puluh enam kitab dalam Alkitab. Perbedaan ini tetap ada sampai sekarang.**16

Mengapa para Reformator sangat menjunjung tinggi otoritas Alkitab? Jawabannya sederhana sekali: karena Alkitab adalah firman Tuhan, maka Alkitab dengan sendirinya memiliki kewibawaan atau otoritas. Luther berkata, “The Scriptures, although they also were written by men, are not of men nor from men, but from God.”**17 Sedangkan menurut Calvin,

The Scriptures are the only records in which God has been pleased to consign his truth to perpetual rememberance, the full authority which they ought to possess with faithful is not recognized, unless they are believed to have come from heaven, as directly as if God had been heard giving utterance to them.**18

Jadi ada konsensus bahwa Alkitab harus diterima seakan-akan Allah sendirilah yang sedang berbicara.

Otoritas Alkitab berakar dan berdasarkan pada fakta bahwa Alkitab diberikan melalui inspirasi Allah sendiri (2Tim. 3:16). Inspirasi adalah cara di mana Allah memampukan penulis-penulis manusia dari Alkitab untuk menulis semua perkataan di bawah pengawasan Allah sendiri. Kepribadian dan kemanusiawian para penulis Alkitab diakui aktif dalam proses di mana Roh Allah memimpin mereka dalam proses inspirasi tersebut. Karena itu apa yang ditulis bukan semata-mata tulisan mereka sendiri tetapi firman Allah yang sejati. Calvin memberi komentar mengenai 2Timotius 3:16,

This is the principles that distinguishes our religion from all others, that we know that God hath spoken to us and are fully convinced that the prophets did not speak of themselves, but as organs of the Holy Spirit uttered only that which they had been commissioned from heaven to declare. All those who wish to profit from the Scriptures must first accept this as a settled principle, that the Law and the prophets are not teachings handed on at the pleasure of men, or produced by men’s minds as their source, but are dictated by the Holly Spirit.**19

Bagaimana sebenarnya cara atau metode mengenai inspirasi ilahi ini tidak dipaparkan secara jelas dalam Alkitab.**20 Butir yang lebih krusial adalah fakta bahwa “the Scriptures are the direct result of the breathing out of God.”**21 B.B. Warfield memberikan komentar yang sangat baik mengenai kata Yunani theopneustos:

The Greek term has…nothing to say inspiring or of inspiration: it speaks only of a “spiring” or “spiration.” What it says of Scripture is, not that it is “breathed into by God” or that it is the product of the Divine “inbreathing” into its human authors, but that it is breathed out by God…when Paul declares, then, that “every scripture,” or “all scripture” is the product of the Divine breath, “is God-breathed,” he asserts with as much energy as he could employ that Scripture is the product of a specifically Divine operation.**22

Ini berarti semua yang ditulis para penulis Alkitab itu berasal dari Allah. Jadi, Alkitab berotoritas adalah karena kenyataan dirinya sebagai penyataan ilahi yang diberikan melalui inspirasi ilahi.

Pertanyaan penting berkaitan dengan otoritas Alkitab ialah: Berdasarkan apa kita menerima otoritas Alkitab tersebut? Bagaimana kita tahu dan yakin bahwa yang kita tegaskan tentang otoritas Alkitab itu benar adanya? Apakah melalui gereja kita mengerti dan diyakinkan akan otoritas Alkitab sebagai firman Allah (pandangan gereja Roma Katolik yang tradisional)? Di dalam sejarah gereja kita melihat ada banyak orang berusaha memberikan argumen-argumen yang rasional guna mendukung klaim bahwa Alkitab adalah firman Tuhan. Tetapi kita pun tahu bahwa sering argumen-argumen itu, meskipun perlu dan penting, tidak sepenuhnya “convincing.”

Di sini kita melihat satu pokok pikiran Calvin yang sangat penting berkaitan dengan masalah ini. Ia dengan tidak henti-hentinya menegaskan bahwa dasar satu-satunya yang meyakinkan mengapa kita percaya otoritas Alkitab adalah kesaksian Roh Kudus sendiri. Kita percaya bahwa Alkitab adalah firman Allah karena kesaksian Roh Kudus. Ia mengatakan:

The testimony of the Spirit is more excellent than all reason. For as God alone is a fit witness of himself in his Word, so also the Word will not find acceptance in men’s hearts before it is sealed by the inward testimony of the Spirit. The same Spirit, therefore, who has spoken through the mouths of the prophets must penetrate into our hearts to persuade us that they faithfully proclaimed what had been divinely commanded.**23

Jadi, otoritas Alkitab tidak tergantung pada bukti-bukti kehebatan dan kesempurnaannya, tetapi oleh karena iman yang Roh Kudus sudah kerjakan dalam hidup orang-orang percaya sehingga mereka mempercayai kebenaran Alkitab dan menaklukkan diri di bawah otoritas tersebut. James M. Boice mengutarakan bahwa kesaksian Roh Kudus ini adalah “the subjective or internal counterpart of the objective or external revelation.”**24

Apa yang Calvin ajarkan di sini sesuai dengan perkataan Paulus di 1Korintus 2:13-14. Jadi, jelas sekali bahwa terlepas dari karya Roh Kudus seseorang tidak akan menerima kebenaran-kebenaran rohani dan secara khusus tidak akan menerima kebenaran bahwa perkataan-perkataan Alkitab adalah firman Allah. Calvin juga mengatakan, “But it is foolish to attempt to prove to infidels that the Scripture is the Word of God. This it cannot be known to be, except by faith.”**25

Keyakinan yang datangnya dari kesaksian Roh Kudus adalah keyakinan yang muncul ketika kita membaca firman Tuhan dan mendengar suara Tuhan berbicara melalui perkataan-perkataan Alkitab tersebut serta menyadari bahwa ini bukanlah kitab biasa. Roh Kudus berbicara di dalam (in) dan melalui (through) perkataan-perkataan Alkitab dalam memberikan keyakinan ini.**26 Tepatlah apa yang dikatakan oleh seorang pastor, “If you have the Bible without the Spirit, you will dry up. If you have the Spirit without the Bible, you will blow up. But if you have both the Bible and the Spirit together, you will grow up.”

Setelah zaman Reformasi, pandangan ortodoks mengenai Alkitab mendapat serangan demi serangan. Gereja Roma Katolik bahkan secara resmi pada tahun 1546 (konsili Trent) menempatkan tradisi gereja berdampingan dan setara dengan Alkitab sebagai sumber penyataan. Serangan lain datang dari golongan rasionalis pada abad 18 dan 19. Alkitab bukanlah “God word to man” tetapi “man’s word about God and man.” Alkitab hanya berisi kesaksian atau catatan manusia tentang karya penyataan dan keselamatan Allah dalam sejarah. Sifat ilahi yang unik dari Alkitab ditolak, sehingga otoritasnya pun ditolak. Otoritas tertinggi ialah rasio manusia. Rasio menusia memiliki kebebasan mutlak yang harus terlepas dari klaim-klaim teologis.**27

Bagaimana dengan sikap gereja-gereja Tuhan terhadap Alkitab? Sola Scriptura adalah doktrin yang menegaskan bahwa Alkitab, dan hanya Alkitab, yang memiliki kata akhir untuk semua pengajaran dan kehidupan kita. Seluruh aspek pemikiran dan kehidupan kita harus tunduk pada firman Allah. Benarkah demikian? David Well, dalam bukunya, No Place for Truth,**28 memberikan kritik tajam kepada golongan injili yang sudah jatuh ke dalam berbagai pencobaan zaman modern, sehingga akhirnya kebenaran Allah sudah tidak lagi mengatur gereja-gereja. Hal-hal apa sajakah yang menjadi mentalitas zaman ini? Menurut Well ada beberapa, yakni:

  1. Subjectivism: basing one’s life upon human experience rather than upon objective truth
  2. Psychological therapy as the way to deal with human needs
  3. A preoccupation with “professionalism,” especially business management and marketing techniques as the model for achievement any kind of common enterprise
  4. Consumerism: the notion that we must always give people what they want or what they can be induced to buy
  5. Pragmatism: the view that results are the ultimate justification for any idea or action

Akibatnya, masih menurut Wells, Allah tidak lagi menjadi sesuatu yang penting dalam hidup manusia. Kebenaran tidak lagi menguasai gereja. Teologi tidak memberikan daya tarik. Khotbah-khotbah hanya berpusatkan pada “felt needs.” Teori-teori marketing dan manajemen dalam pertumbuhan gereja menggantikan prinsip-prinsip Alkitab. Hal ini perlu menjadi pemikiran serius bagi gereja-gereja Tuhan.

Bagaimana sikap para hamba Tuhan terhadap Alkitab? Panggilan hamba Tuhan ialah panggilan untuk mempelajari dan menguraikan firman Tuhan (bdk. Kis 20:27, dimana Paulus mengajarkan “the whole counsel of God” selama pelayanannya di Efesus). Menurut de Witt, salah satu ciri khas teologi Reformed ialah pandangan mengenai berkhotbah (preaching) yang distingtif. Ia menulis, “It is by preaching that God confronts people and draws them to himself, conforming them to the pattern of his Son; indeed, it is by preaching that Jesus addresses himself to the hearts and consciences of men (Rom. 10:14).”**29 Berdasarkan apa yang dinyatakan di dalam Alkitab, preaching adalah eksposisi dan aplikasi firman Tuhan. Tugas ini dipercayakan kepada para hamba Tuhan (bdk. Kis. 6:1 dst.). John Stott dengan keras berkata, “Sehat tidaknya keadaan jemaat-jemaat kita lebih banyak tergantung pada mutu pelayanan pemberitaan firman Tuhan daripada hal-hal lainnya…apa yang terjadi di bangku jemaat memancarkan apa yang terjadi di mimbar.”**30 Apakah tugas ini sudah kita jalankan dengan penuh kesungguhan dan keseriusan karena kita memberitakan firman yang memiliki otoritas dari Allah?

SOLA SCRIPTURA DAN PENAFSIRAN ALKITAB

Elemen baru di dalam pengajaran Sola Scriptura dari para Reformator sebenarnya bukanlah permasalahan otoritas Alkitab, karena gereja Roma Katolik juga berpegang pada hal itu. Elemen yang baru berkaitan dengan masalah penafsiran Alkitab. Bukanlah hal yang berlebihan kalau dikatakan bahwa Reformasi pada abad 16 tersebut pada dasarnya adalah suatu revolusi hermeneutik.**31 Gerakan Reformasi menolak penafsiran otoritatif terhadap Alkitab, khususnya dari gereja Roma Katolik yang menekankan bahwa Paus atau konsili gerejawilah yang memiliki otoritas untuk menafsirkan Alkitab. Sampai zaman Reformasi Alkitab masih dianggap oleh kebanyakan orang sebagai kitab yang “obscure.” Orang awan biasa tidak dapat diharapkan untuk mengertinya, sehingga mereka tidak didorong untuk membacanya. Bahkan Alkitab tidak tersedia dalam bahasa yang mereka mengerti. Mereka jelas bergantung sepenuhnya pada penafsiran gereja yang bersifat otoritatif. Pengajaran Alkitab dikomunikasikan kepada orang-orang Kristen hanya melalui perantaraan Paul, konsili, atau pastor.

Para Reformator sangat menekankan prinsip “private interpretation,” yakni hak untuk menafsirkan Alkitab secara pribadi. Dengan demikian setiap orang Kristen memiliki hak untuk membaca dan menafsirkan Alkitab untuk dirinya sendiri.**32 Tetapi ini bukan berarti kepada setiap individu diberikan hak untuk menyelewengkan atau mendistorsi Alkitab. Ini adalah prinsip yang berasumsi bahwa Allah yang hidup berbicara kepada umat-Nya secara langsung dan otoritatif melalui Alkitab. Karena itu orang Kristen harus didorong untuk membaca Alkitab. Alkitab harus diterjemahkan kedalam bahasa umum. Luther, contohnya, sangat menekankan hal ini, sehingga ia menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Jerman.

Para tokoh Reformator sendiri tampaknya menekankan pengertian mereka terhadap Alkitab dengan tidak mempedulikan apakah pengajaran mereka bertentangan dengan keputusan-keputusan konsili atau penafsir-penafsir gerejawi lainnya. Bagi mereka gereja bukanlah penentu arti Alkitab, justru Alkitablah yang harus mengoreksi dan menghakimi gereja. Tetapi pertanyaannya: apakah memang tidak ada peranan pengajaran (tradisi) gereja sama sekali dalam hal ini? Reformasi sering kali dilihat mempunyai ciri khas yaitu suatu “massive break” dengan tradisi gereja. Yang benar adalah, para Reformator menentang otoritas tradisi dan otoritas gereja, hanya sejauh otoritas tersebut mengungguli otoritas Alkitab.**33

Para Reformator tidak pernah menolak tradisi eksegetis dan teologis dari gereja yang didasarkan dan tunduk pada kebenaran Alkitab. Mereka menghormati tradisi, khususnya yang diajarkan oleh bapa-bapa gereja (terutama Agustinus). Luther berkata, “The teachings of the Fathers are useful only to lead us to the Scriptures as they were led, and then we must hold to the Scriptures alone.”**34 Calvin, sebagai contoh, menulis edisi Institutes pertama pada tahun 1536 ketika ia masih berusia dua puluhan. Buku ini mengalami revisi beberapa kali, dan edisi akhir adalah tahun 1559. Selama masa dua dekade tersebut ia berkecimpung dan sibuk memberikan eksposisi Alkitab dan berkhotbah. Dalam hal ini ia berinteraksi banyak dengan penafsiran penafsir-penafsir sebelumnya. T. H. L. Parker berkata tentang Calvin:

As his understanding of the Bible broadened and deepened, so the subject matter of the bible demanded ever new understanding in its interrelation within itself, in its relations with secular philosophy, in its interpretation by previous commentators.**35

Maka jelaslah, seperti yang Silva katakan, “the reformation marked a break with the abuse of tradition but not with the tradition itself.”**36 Kritik yang diberikan adalah terhadap ajaran dan praktek yang sudah menyeleweng dari, atau bertentangan dengan, Alkitab. Para Reformator masih mempertahankan ajaran-ajaran gereja yang paling tradisional (seperti keilahian Kristus, Trinitas, baptisan anak, dan sebagainya) karena ajaran-ajaran tersebut sesuai dengan Alkitab. Mereka menghargai tulisan-tulisan bapa-bapa gereja yang adalah pembela-pembela kebenaran Alkitab.

Hak “private interpretation” haruslah disertai dengan tanggung jawab untuk memakai dan menafsirkan Alkitab dengan hati-hati dan akurat. Karena itu dalam hal ini kebutuhan akan penafsir dan guru sangat diperlukan. Memang Alkitab dapat dibaca dan dimengerti oleh orang-orang percaya (doktrin the clarity or perspicuity of Scripture), tetapi masih ada hal-hal tertentu yang masih belum jelas dan sulit bagi banyak orang yang sudah tentu membutuhkan suatu penyelidikan dan penelitian akademik. Ketidakjelasan atau kekaburan tersebut lebih banyak disebabkan oleh ketidaktahuan akan bahasa, tata bahasa, dan budaya dari penulis Alkitab, daripada dikarenakan isi pengajaran atau subject-matter-nya. Oleh sebab itu, “biblical scholarship” sangat penting dan diperlukan.

Kontribusi penting dari para Reformator terhadap penafsiran Alkitab ialah penegasan mereka mengenai “plain meaning” (arti yang alamiah atau wajar) dari Alkitab. Secara khusus kepedulian mereka adalah menyelamatkan Alkitab dari penafsiran alegoris yang masih terus ada saat itu.**37 Luther mengungkapkan, “The Holy Spirit is the plainest writer and speaker in heaven and earth and therefore His words cannot have more than one, and that the very simplest sense, which we call the literal, ordinary, natural sense.” Apa yang ditekankan di sini bukanlah penafsiran harafiah yang kaku. Prinsip ini menegaskan bahwa “the Bible must be interpreted according to the manner in which it is written.”**39 Arti yang “plain” dari Alkitab adalah arti yang dimaksudkan oleh penulis manusia, dan hal itu hanya dapat dimengerti melalui analisa konteks sastra dan sejarah. Jadi jelaslah ada aturan- aturan dalam penafsiran yang harus diikuti untuk menghindari penafsiran yang subjektif dan aneh-aneh. Pengaruh dari semangat Renaissance dalam hal ini tidak bisa dipungkiri. Kita melihat adanya suatu ketertarikan baru terhadap sifat historis dari tulisan-tulisan kuno, di mana Alkitab termasuk di dalamnya.**40

Ada yang mengatakan, “It is almost a truism to say that modern historical study of the Bible could not have come into existence without the Reformation.”**41 Prinsip Reformasi ini terkait erat dengan apa yang kita sebut metode penafsiran “Grammatical-Historical,” yang berfokus pada “historical setting” dan “grammatical structure” dari bagian-bagian Alkitab. Dalam hal ini para Reformator berfokus pada sifat manusiawi dari Alkitab itu sendiri. Ekses negatif dari pendekatan ini adalah pendapat yang mengatakan bahwa Alkitab harus dimengerti dan ditafsirkan seperti buku biasa lainnya. Inilah yang membuka jalan untuk pendekatan “Historical-Critical” yang berkembang pada abad 18-19. Bedanya dengan pendekatan Reformasi adalah, iman atau komitmen teologi tidak diperbolehkan mempengaruhi penafsiran.**42 Mereka berusaha untuk netral, tetapi sebenarnya tidak dapat netral karena mereka sudah berpegang pada “teologi” (iman) mereka sendiri yaitu teologi yang tidak percaya adanya intervensi Allah dalam dunia ini. Sumbangsih gerakan Reformasi dalam hal penafsiran Alkitab sangat penting, di mana prasuposisi iman tidak mungkin dilepaskan dari penafsiran Alkitab.

Pemikiran Reformasi mengenai penafsiran Alkitab juga menolong kita untuk berhati-hati di dalam merespons segala bentuk pendekatan atau metode penafsiran posmodernisme, yang secara khusus memberikan penekanan pada respons dari pembaca masa kini (reader-response approach). Pendekatan ini beranggapan bahwa tidak ada “meaning” yang pasti dan benar, yang ada hanyalah “meanings” yang muncul atau dihasilkan dari pembaca sendiri. Bahaya subjektivisme dan relativisme sangat terlihat di sini. Memang betul penafsiran Alkitab tidak hanya berhenti pada interpretasi, tetapi aplikasi. Kendati demikian ini bukan berarti aplikasi yang tidak terkontrol dan sembarangan di mana seolah-olah pembacanya yang menentukan arti dan aplikasinya.**43

Gerakan Reformasi juga menetapkan suatu prinsip penting dalam penafsiran yaitu “Scripture is to interpret itself” (Sacra Scriptura sui interpres). Kita menafsirkan Alkitab dengan Alkitab. Oleh sebab itu, kita tidak mempertentangkan satu bagian Alkitab dengan bagian lainnya. Apa yang tidak jelas di suatu bagian mungkin dapat dijelaskan oleh bagian lain. Di balik prinsip ini ada sebuah keyakinan bahwa jikalau Alkitab ialah firman Allah maka ia bersifat koheren dan konsisten pada dirinya sendiri. Allah tidak mungkin berkontradiksi dengan diri-Nya sendiri. Memang benar Alkitab dituliskan oleh orang-orang yang berbeda, yang hidup pada zaman yang berbeda pula. Tetapi kita juga menyadari bahwa Allah adalah Penulis aslinya, sehingga jelas ada kesatuan dan koherensi. Ini tidak sama artinya dengan uniformitas (keseragaman). Para penulis manusia menunjukan tulisan mereka pada situasi yang nyata, tetapi Allah dalam kedaulatan-Nya menuntun mereka dan situasi mereka, bahkan secara langsung mempengaruhi dan mengajar mereka (bdk. 2Ptr. 1:21), sehingga kita melihat kesatuan pikiran di balik semua itu. Untuk mengetahui maksud Allah tidak mungkin kita memperhatikan “bits” dan “pieces” saja. Kita harus melihat Alkitab secara keseluruhan, sama seperti ketika kita bermaksud mengetahui maksud penulis manusia, yaitu dengan membaca hasil akhir karyanya.

Jelaskan bahwa Alkitab menyajikan tujuan ilahi. Concern Alkitab adalah memberitahukan kepada kita suatu “story,” yaitu cerita mengenai karya penebusan Allah bagi umat-Nya melalui Yesus Kristus. Alkitab menyajikan kepada kita “Redemptive History.” Oleh sebab itu ayat-ayat dalam Alkitab tidak pernah dapat ditafsirkan lepas dari konteks kesatuan keseluruhan Alkitab. Setiap bagian Alkitab berkaitan erat dan tidak boleh ditafsirkan di luar konteks rencana dan aktivitas Allah yang bersifat “redemptive-historical” dan “covenantal” (relasi antara Allah dan umat-Nya).

PENUTUP

Apakah doktrin Sola Scriptura masih relevan untuk dipertahankan? Melihat situasi yang kita hadapi saat ini maka penegasan doktrin yang mendasar ini masih sangat penting. Kita sekarang hidup pada zaman yang sering kali disebut sebagai zaman pascamodernisme. Apa yang menjadi mentalitas zaman ini? William Edgar mengemukakan, “at the heart of the postmodern mentalily is a culture of extreme skepticism… According to many postmodernists, knowledge is no longer objective-nor even useful-and ethics is not universal.”**44 Inilah dunia yang tidak kompatibel dengan kebenaran injil, dan di dalam dunia yang seperti ini Tuhan memanggil kita untuk mempertahankan kebenaran firman-Nya.

Daftar Catatan Kaki

**1. Earle E. Cairns, Christianity Through the Centuries (Edisi ketiga; GrandRapids: Zondervan, 1996) 284.

**2. Stephen Tong, Reformasi & Teologi Reformed (Jakarta: LRII, 1991) 13.

**3. Alister E. McGrath, Sejarah Pemikiran Reformasi (Jakarta: Gunung Mulia, 1999) 174.

**4. R. C. Sproul, Grace Unknown: The Heart of Reformed Theology (Grand Rapids: Baker, 1997) 42.

**5. Tony Lane, The Lion Concise Book of Christian Thought (Tring: Lion, 1984) 110-111.

**6. What is the Reformed Faith? (Edinburgh: Banner of Truth, 1981) 5.

**7. McGrath, Sejarah Pemikiran Reformasi 182.

**8. Ibid. 185. McGrath juga mengutip Calvin yang mengatakan, “… kita berpegang bahwa….bapa-bapa gereja dan dewan-dewan hanya berwibawa sejauh mereka sesuai dengan aturan dari firman itu, kita masih memberikan kepada dewan-dewan dan bapa-bapa gereja kehormatan dan kedudukan seperti yang sesuai untuk mereka miliki di bawah Kristus” (Sejarah Pemikiran Reformasi 186).

**9. Ibid. 186.

**10. J.M. Boice, Foundations of the Christian Faith (Downers Grove: IVP, 1986) 48.

**11. Alister McGrath, The Intellectual Origins the European Reformation (Oxford: Oxford University Press, 1987) 140-151.

**12. Sproul, Grace Unknown 42.

**13. J. Van Engen, “Tradition” dalam Evangelical Dictionary of Theology (ed. Walter Elwell; Grand Rapids: Baker, 1984) 1105.

**14. McGrath, Sejarah Pemikiran Reformasi 182-183.

**15. Contohnya, pengajaran Roma Katolik mengenai doa untuk orang mati didasarkan pada 2Makabe 12:40-46. Bagi para Reformator, kebiasaan ini tidak mempunyai dasar alkitabiah, karena kitab tersebut adalah kitab Apokrifa.

**16. Konsili Trent 1546 tetap mendifinisikan kanon sesuai dengan apa yang ada di dalam Alkitab Vulgata.

**17. “That Doctrines of Men Are to Be Rejected” dalam What Luther Says: An Anthology (ed. Elwald M. Plass; St. Louis:Concordia, 1959) 1.63.

**18. Institutes of the Cristian Relegion (tr. H. Beveridge; London: James Clarke, 1953) I.vii.1.

**19. Calvin’s New Testament Commentaries (tr. T. A. Small; Grand Rapids: Eerdmands, 1964) 10.330.

**20. Luther sendiri juga tidak pernah mengembangkan teologi tentang inspirasi Alkitab.

**21. Boice, Foundations 39.

**22. The Inspiration and Authority of the Bible (ed. Samuel G. Craig London: Marshall & Scott, 1959) 133.

**23. Institutes I. vii. 4.

**24. Foundation 49.

**25. Institutes I.viii. 13.

**26. Dalam hal inilah kita berbeda dengan pandangan Neo-Ortodoksi mengenai Alkitab. Kita percaya bahwa tulisan-tulisan dalam Alkitab adalah perkataan Allah kepada kita, terlepas dari apakah kita membacanya, mengerti, menerimanya atau tidak. Status Alkitab tidak ditentukan oleh respons manusia. Neo-Ortodoksi menekankan bahwa Alkitab menjadi firman Allah pada saat ada “encounter.” Ketika tidak ada encounter, maka Alkitab hanyalah kata-kata manusia belaka yang menuliskannya. Sebenarnya pengertian wahyu sebagai suatu “encounter” tersebut adalah apa yang kita mengerti sebagai iluminasi. Pada saat seseorang diyakinkan akan suatu kebenaran tertentu, itu berarti illuminasi sedang terjadi.

**27. Robert M. Grant dan David Tracy, A Short History of the Interpretation of the Bible (Edisi kedua; Minneapolis: Fortress, 1984) 100-109. Tepatlah apa yang dikatakan Boice, “The Catholic Church weakened the orthodox view of the Bible by exalting human traditions to the stature of Scripture. Protestans weakened the orthodox view of Scripture by lowering the Bible to the level of traditions” (Foundations 70)

**28. Atau Whatever Happened to Evangelical Theology? (Grand Rapids: Eerdmans,1993).

**29. What is the Reformed Faith? 17-18

**30. Alkitab: Buku Untuk Masa Kini (tr. Paul Hidayat; Jakarta: PPA, 1987)60-61.

**31. Moises Silva, Has the Church Misread the Bible? (Grand Rapids:Zondervan, 1987)77.

**32. Sproul, Grace Unknown 55.

**33. Silva, Has the Church 95.

**34. Dikutip dari Dan McCartney dan Charles Clayton, Let the Reader Understand: A Guide to Interpreting and Applying the Bible (Wheathon: Bridgepoint, 1994) 93.

**35. John Calvin: A Biography (Philadelphia: Westminster, 1975) 132.

**36. Silva, Has the Church 96.

**37. Ibid. 77-78.

**38. Works of Martin kLuther (Philadelpia: Holman, 1930) 3.350

**39. Sproul, Grace Unknown 56.

**40. Edgar Krentz, The Historical-Critical Method (Philadelphia: Fortress, 1975) 7-10.

**41. Grant and Tracy, A Short History 92.

**42. Krentz, The Historical 16-30.

**43. Lihat ulasan yang menarik oleh Kevn J. Vanhoozer, Is There A Meaning in the Text? The Bible the Reader, and the Morality of Literary Knowledge (Grand Rapids: Zondervan, 1998) khususnya pasal 4 & 7.

**44. Reasons of the Heart: Recovering Christian Persuasion (Grand Rapids: Baker, 1996) 25.

Sumber: Doktrin Sola Scriptura ,Yohanes Adrie Hartopo Majalah Veritas (Vol. 3, Nomor 1 – April 2002)


Alkitab =? Kebenaran ABSOLUT

Alkitab =? Kebenaran ABSOLUT

Dalam seminar dengan tema “Wahyu dan Pengwahyu” Pdt. Stephen Tong menceritakan sebuah tanya jawab antara seorang jemaat dengan pendetanya. Orang tersebut menantang Pak Pendeta, “Tolong buktikan bahwa Alkitab itu benar!” Lalu Sang Pendeta menjawab, “Baik, mari kita sama-sama buka Alkitab dari 2 Timotius 3:16….” Tetapi segera dipotong oleh jemaat tersebut, “Tunggu Pak, masak membuktikan kebenaran Alkitab dengan Alkitab?” Ini sebenarnya tipikal dialog yang sering terjadi. Kadang kita sendiri juga penasaran dan ingin mencari bukti mengapa Alkitab itu dianggap sebagai standar kebenaran yang absolut. Mana buktinya bahwa Alkitab adalah standar kebenaran yang absolut? Jawaban yang sering kita terima adalah: “Buktinya adalah bahwa Alkitab menyatakan demikian.” “Ah, apa tidak ada yang lain? Misalnya bukti secara sains, atau bukti arkeologi tentang hal-hal di dalam Alkitab, atau ada kitab dalam Alkitab yang bisa digunakan untuk meramal politik internasional saat ini, atau apalah…, tapi jangan bilang dong kalau buktinya itu didapat dari Alkitab sendiri… itu sih namanya muter-muter doang….” Seringkali kita juga berpikir demikian, iya kan? Walaupun kita tahu sebenarnya satu-satunya hal yang dapat mengesahkan otoritas Alkitab adalah Alkitab itu sendiri.

Basic Belief dan Realita

Pertama-tama kita akan mengikuti golongan Reformed Epistemologist, yang beranggotakan sekumpulan filsuf yang memegang Reformed Theology. Mereka menulis esai-esai yang dikumpulkan dalam buku berjudul “Faith and Rationality.” Buku ini diedit oleh dua orang terkenal. Satu adalah ahli filsafat analitis, Alvin Plantinga, sedangkan satu lagi adalah Nicholas Wolterstorff, orang yang pemikirannya diakui dalam banyak bidang. Buku ini intinya membahas tentang keabsahan suatu kepercayaan. Mereka menyatakan bahwa dalam diri manusia ada yang disebut dengan basic belief. Basic belief adalah suatu kepercayaan dasar yang dipegang seseorang walaupun tidak ada bukti yang cukup mengapa ia berpegang kepada kepercayaan tersebut. Kepercayaan dasar ini mendasari cara pandang seseorang dan juga mempengaruhi cara berpikir seseorang. Seorang anggota GRII ketika membaca dalam Alkitab bahwa Tuhan Yesus berjalan di atas air akan berkata, “Ini adalah bukti bahwa Tuhan Yesus adalah Allah!” Tetapi seorang Liberal akan berkata, “Ah, ini adalah bukti bahwa catatan Alkitab itu penuh dengan mitos dari gereja mula-mula… masak ada orang berjalan di atas air?” Mengapa bisa berbeda begini? Karena basic belief yang berbeda membuat tiap-tiap orang memiliki cara pandang yang berbeda terhadap suatu hal yang sama.

Apa sebenarnya basic belief ini? Salah satu jawaban diberikan oleh George Mavrodes. Profesor filsafat dari University of Michigan ini memberikan suatu penjelasan bahwa basic belief terjadi dalam “wadah” di mana seseorang mempercayai sesuatu tanpa perlu memperoleh dukungan bukti atau argumentasi rasional mengapa dia percaya. Wadah ini merupakan sesuatu yang diciptakan oleh Tuhan.[1] Seseorang dapat saja menjadi Kristen karena ia percaya bahwa Yesus Kristus bangkit dari antara orang mati, dan mengapa ia bisa percaya bahwa Yesus Kristus bangkit dari antara orang mati tidak dapat dijelaskan, karena wadah untuk menampung basic belief-nya seolah-olah di-set untuk dapat menerima hal ini. Ia tidak perlu memperoleh penjelasan rasional apa pun untuk hal ini. Setiap orang memiliki basic belief dan setiap orang boleh mempercayai sesuatu secara absah tanpa dukungan bukti apa pun. Misalkan ada orang yang percaya bahwa roh nenek moyangnya masih berkeliaran di dunia ini, dan karena itu roh nenek moyang ini diberikan kopi tiap pagi. Kalau kita berkata bahwa roh nenek moyangnya sudah tidak ada di dunia ini, dan yang pasti sudah tidak bisa minum kopi lagi, maka dia akan menolak untuk setuju dengan kita. Kalau kita meminta bukti kehadiran nenek moyangnya, ia akan berkata, “Dia ada tapi tidak kelihatan, tidak teraba, tidak terdengar, tapi pokoknya ada.” “Lho? Bagaimana tahu dia ada?” “Yah, saya percaya saja bahwa dia ada.” Nah, inilah yang namanya basic belief. Tidak perlu bukti secara rasional, empiris, dan sebagainya.

Tetapi di sini ada sedikit masalah. Bukankah ini berarti bahwa semua kepercayaan dan agama tidak bisa disangkal keabsahannya? Apa perbedaan orang Kristen yang dengan basic belief-nya mempercayai Tuhan Yesus dengan orang Islam yang mempercayai Allahnya Mohammad? Karena itu John Frame dalam 5 Views on Apologetics mengatakan bahwa basic belief baru dapat dipegang secara sah hanya bila basic belief tersebut sesuai dengan realita.[2] Lalu apa itu realita? Bagaimana kita tahu realita itu benar adanya?

Basic True Belief

Untuk menjawab pertanyaan di atas, Van Til[3] menyimpulkan epistemologi yang benar ke dalam dua langkah. Pertama adalah bahwa Allah mengetahui segala sesuatu tentang segala sesuatu. Dengan demikian, Ia adalah satu-satunya Sumber pengetahuan sejati mengenai realita. Yang kedua adalah bahwa pikiran manusia diciptakan untuk tunduk kepada otoritas Allah, atau meminjam istilah Van Til, berpikir secara analogis (thinking God’s thought after Him).[4] Otak kita ini tidak diciptakan Tuhan untuk berpikir secara otonomi melainkan untuk tunduk kepada Allah. Dengan demikian, Allah berdaulat memilih apa yang ingin Dia nyatakan dan berdaulat memilih bagaimana Dia menyatakannya.

Allah dalam kedaulatan-Nya telah memilih Alkitab sebagai cara untuk menyatakan Diri-Nya dan kehendak-Nya secara tertulis bagi kita supaya kita tunduk kepada-Nya. Karena itu Alkitab berotoritas tertinggi sehingga tidak ada yang dapat membuktikan dan mengesahkan keabsahan otoritas Alkitab kecuali Alkitab sendiri. Mengapa? Karena Allah menyatakan demikian. Bagaimana Allah menyatakannya? Dengan Firman-Nya di dalam Alkitab. Alkitab adalah satu-satunya sumber yang berhak menentukan sah tidaknya Alkitab dijadikan ukuran kebenaran absolut. Tetapi bukankah ini sih sama saja dengan komentar pada awal pembahasan kita? “…kita cuma muter-muter doang….” Tetapi mari kita pikirkan dulu… kalau Alkitab adalah kebenaran mutlak dengan otoritas tertinggi, dapatkah kita memakai sesuatu di luar Alkitab untuk membuktikan sah atau tidaknya klaim ini? Tidak! Karena dengan demikian kita sedang melengserkan Alkitab sebagai otoritas paling tinggi dengan sesuatu di luar Alkitab.[5] Jika Alkitab itu benar karena ada bukti secara rasio manusia, maka sebenarnya Alkitab berada di bawah penilaian pemikiran rasional kita. Jika Alkitab itu benar karena dibuktikan oleh penggalian arkeologis dan lain-lain, maka Alkitab sebenarnya bukanlah otoritas tertinggi. Ini dikarenakan posisi Alkitab yang adalah otoritas tertinggi, sehingga keabsahan Alkitab sebagai otoritas tertinggi hanya dapat disahkan oleh klaim otoritas tertinggi itu sendiri, yaitu Alkitab. Cara berpikir ini pun (circular thinking) sebenarnya kita pakai dalam kehidupan kita sehari-hari. Kita membuktikan matematika dengan rumusan matematika, kita membenarkan suatu politik dengan cara politik, kimia dengan rumusan kimia, dan sebagainya. Semuanya akan menjadi absurd jikalau kita mencoba membuktikan suatu persamaan matematika dengan cara militer, atau rumusan kimia dengan politik, dan sebagainya. Jadi, circular thinking merupakan cara yang diakui dan sah dalam pembuktian, tetapi mengapa manusia justru protes ketika dipakai dalam pembuktian otoritas Alkitab?

Alkitab Sulit untuk di-“Trace Back” …

“Rasul” bagi teolog-teolog Liberal, Immanuel Kant, dalam buku Religion Within The Limits of Reason Alone mengaplikasikan pemikirannya tentang dunia noumena yang tidak mungkin diketahui dan dunia fenomena yang dapat kita pahami. Menurut Kant, Allah adalah sesuatu yang tidak mungkin diketahui, sehingga adalah sesuatu yang terlalu berani jika kita mengatakan bahwa kita mengenal Dia melalui Alkitab. Konsekuensinya, sulit untuk mengatakan Alkitab adalah Firman Allah, karena untuk mengenal Alkitab secara penuh, kita harus menelusuri dan melintasi sejarah serta perbedaan budaya dan bahasa hingga zaman tulisan-tulisan itu ditulis.[6] Ini adalah hal yang tidak mungkin dilakukan dengan akurat sekarang, ribuan tahun setelah penulisan Alkitab. Dan karena itu juga, tidak mungkin Alkitab yang sulit untuk diketahui akarnya ini dijadikan otoritas tertinggi bagi manusia. Teolog-teolog modern yang mengidolakan Kant pun bermunculan di abad 20-an dan Alkitab dijadikan sasaran penilaian rasio dan obyek riset sebelum ditentukan layak tidaknya Alkitab memegang otoritas tertinggi bagi manusia.

Rudolf Bultmann mengatakan bahwa kita harus membersihkan Alkitab dari hal-hal supranatural karena itu hanya legenda, mitos, atau cerita rakyat saja. Schweitzer menulis buku yang dipenuhi oleh pemikiran dari orang-orang yang setuju bahwa Yesus yang asli sudah tidak bisa dikenal lagi karena catatan yang ada di dalam Alkitab sudah diberi terlalu banyak “bumbu”. Jadi menurut mereka Alkitab kita tidak bisa dipercaya karena terlalu banyak “bumbu” sehingga “rasa” aslinya hilang. Menurut Bultmann, kita harus melakukan demitologisasi atau pembersihan Alkitab dari mitos-mitos, maka Tuhan kita yang asli, kerygma, atau berita yang sesungguhnya akan muncul. Akibatnya, Tuhan Yesus tidak pernah berjalan di atas air, tidak pernah menyembuhkan orang sakit, apalagi membangkitkan orang mati, lebih-lebih sendirinya bangkit dari kematian pada hari ketiga. Ini keterlaluan! Hanya orang-orang Kristen yang kurang pendidikan, yang masih percaya dongeng orang-orang kampung, dan yang masih terbelakang saja yang mau terima Alkitab yang terlalu banyak “bumbu”!

Awal abad ke-20 muncul seorang pendeta dari gereja kecil di Swiss yang bernama Karl Barth.[7] Barth menentang orang-orang Liberal, termasuk gurunya sendiri, Adolf von Harnack. Menurut Barth mereka terlalu membumikan Allah dengan mengurung Dia hanya dalam wilayah etika manusia dan menjadikan Dia objek penyelidikan para teolog yang notabene hanya manusia. Seharusnya Allah itu berbeda secara mutlak dengan kita (the Wholly Other). Kita tidak mungkin menjadikan Dia obyek penyelidikan karena kita tidak mungkin tahu siapa Dia kecuali Dia mewahyukan diri. Bagaimana cara Allah mewahyukan diri? Di dalam Kristus. Menurut Barth, Kristus adalah satu-satunya wahyu Allah. Bukan Alkitab! Allah tidak boleh disamakan dengan tulisan-tulisan manusia! Ini penghinaan! Jadi Barth menentang Liberalisme dengan semangat yang sama dengan orang-orang Liberal, dia juga sangat dipengaruhi Kant. Orang Liberal mengatakan Alkitab hanyalah tulisan biasa yang banyak mitos. Barth mengatakan, ”Tidak, hanya secara fenomena Alkitab tulisan biasa, tetapi secara noumena Alkitab dapat menjadi Firman Tuhan.“ Alkitab dapat menjadi wadah Tuhan berfirman kepada kita. Orang Liberal mengatakan keberadaan Yesus itu diragukan kesejarahannya. Mungkin saja tokoh Yesus dalam Alkitab ini hanya mitos saja… Barth mengatakan, ”Tidak. Tidak masalah Yesus 2000 tahun yang lalu itu seperti apa. Itu hanya permasalahan dalam lingkup fenomena, tetapi secara noumena di dalam Kristus Allah mewahyukan diri bagi manusia.” Orang Liberal berkata tidak benar kalau Yesus bangkit, Barth mengatakan bahwa itu semua hanya masalah fenomena, yaitu sejarah (Historie). Yang penting secara noumena kematian Yesus membebaskan kita dari dosa. Yang penting adalah makna sejarah secara noumena (Geschichte), dan bukan sejarah (Historie). Pemikiran Barth ini seperti mengatakan bahwa tidak masalah entah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 pernah benar-benar terjadi atau tidak, yang penting maknanya. Kalau kita percaya makna proklamasi, terlepas dari benar-benar pernah terjadi atau tidak, maka kita akan lebih nasionalis lagi, lebih mencintai Indonesia Pusaka. Tetapi apakah sah mempercayai sesuatu yang tidak benar-benar terjadi? Kalau Kristus tidak benar-benar mati dan bangkit di dalam sejarah, apa makna percaya kepada-Nya? Betapa bahayanya menggantungkan iman kepada hal yang tidak jelas seperti ini. Semua ini terjadi karena para teolog modern, dan juga Barth, meletakkan rasio sebagai otoritas tertinggi. Hal-hal di dalam Alkitab yang tidak cocok dengan rasio harus “dicocokkan” dulu. Jadi, bukan manusia (rasio) tunduk kepada wahyu Tuhan, tetapi menundukkan wahyu Tuhan kepada otoritas rasio. Inilah ciri utama dari pemikiran manusia berdosa yang berusaha otonom dari otoritas kedaulatan Allah dan Firman-Nya, seperti yang dikatakan Van Til.

Tidak Mungkin Dimengerti?

Baiklah, tetapi pernyataan Kant mengenai ketidakmungkinan untuk memahami Alkitab belum selesai terjawab. Apakah memang mustahil untuk memahami Alkitab? Apakah Alkitab mirip dengan buku-buku tulisan Hegel, seorang filsuf Jerman? Hegel bisa menuliskan kalimat yang terdiri dari 80 kata, dan kita bisa melewati berlembar-lembar halaman yang penuh dengan kalimat-kalimat seperti ini tanpa tahu apa yang sedang ia bicarakan. Apakah Alkitab seperti itu? Atau sebenarnya Alkitab dituliskan dengan maksud agar umat Tuhan bisa mengenal Tuhan (sementara Hegel mungkin sengaja membuat kita bingung agar kita merasa diri kita bodoh dan menganggap Hegel pandai). Jelas, Alkitab dituliskan agar manusia bisa mengerti kehendak-Nya, walaupun benar bahwa Alkitab menuliskan banyak hal yang secara rasional tidak dapat dipahami dan banyak hal yang sangat sulit dimengerti. Di sinilah letak penundukkan rasio kepada otoritas Alkitab yang juga mencakup penerimaan dengan iman akan hal-hal yang tak terpahami oleh rasio manusia yang terbatas ini, maupun kesungguhan untuk secara bertahap dan terus-menerus belajar mengetahui hal-hal yang membutuhkan proses untuk dipahami. Tetapi, sekali lagi, Alkitab adalah tulisan yang menyatakan maksud-Nya dengan sangat jelas. Apakah manusia menolak Alkitab karena manusia tidak dapat memahaminya? Tidak. Manusia menolak Alkitab karena manusia tidak mau menundukkan diri kepada Allah dan Firman-Nya.

Apakah seorang humanis menolak Alkitab karena tidak mungkin mengerti Alkitab? Tidak. Seorang humanis akan menolak Alkitab dan menganggapnya sebagai kitab suci orang-orang barbar ketika membaca kitab Yosua tentang pemusnahan etnis yang dilakukan Israel. Dia gagal melihat bagaimana Allah yang Maha Suci memakai umat-Nya sebagai alat-Nya untuk menghukum orang-orang Kanaan karena dosa mereka. Apakah kaum universalist yang percaya bahwa semua manusia akan selamat, salah mengerti Alkitab karena sulit dimengerti? Tidak. Mereka tidak mau menerima ajaran mengenai Allah yang Maha Adil memasukkan orang ke dalam neraka sehingga mereka harus menafsirkan Alkitab dengan begitu rumit untuk menghindari ajaran ini dan memasukkan pendapat mereka sendiri mengenai Allah yang Baik pasti tidak tega menghukum seorang manusia pun. Mengapa orang Liberal menolak otoritas Alkitab? Karena mereka tidak dapat mengerti? Tidak. Orang Liberal tidak dapat menerima otoritas Kitab yang menceritakan tentang seorang manusia bernama Yesus yang berjalan di atas air karena bagi mereka kisah mengenai manusia yang berjalan di atas air ini tidak sesuai dengan “akal sehat”. Mengapa orang Yahudi sulit menerima Yesus sebagai Mesias? Apakah karena Yesaya 53 terlalu sulit dan berbelit-belit? Tidak, tetapi karena ada tudung bernama tradisi yang menghalangi mereka untuk melihat Yesus di dalam nubuat para nabi (lihat 2 Korintus 3:13-16). Tradisi mengatakan Mesias adalah pahlawan perang yang menang, bukan korban sembelihan, dan mereka berusaha untuk menafsirkan Alkitab dengan meletakkan Alkitab di bawah otoritas tradisi. Semua kekacauan ini adalah karena Alkitab diletakkan di bawah otoritas rasio, pengalaman, semangat Humanisme, sains, tradisi, dan lain-lain.

Jadi mengapa sebenarnya manusia sulit menerima klaim kebenaran absolut Alkitab? Karena, sebagaimana dikatakan Van Til, manusia menolak Allah dan mau berpikir secara otonom. Sejak dari taman Eden hingga sekarang, kesulitan manusia tetap sama, ingin menjadi seperti Allah dan menolak otoritas Firman-Nya di dalam kehidupannya. Sampai kita jujur mau kembali kepada Allah dan hanya bila Roh Kudus membersihkan natur penolakan kita terhadap otoritas Allah dan Firman-Nya, barulah kita dapat melihat bahwa memang benar Alkitab memiliki otoritas tertinggi (2 Korintus 3:16). Kant mengatakan bahwa manusia sudah dewasa dan tidak perlu bergantung pada otoritas apa pun di luar dirinya sendiri. Tetapi Alkitab berkata bahwa Sang Pencipta manusia menetapkan bahwa manusia harus bergantung kepada-Nya. Otak kita tidak diciptakan untuk mandiri, tetapi untuk tunduk kepada kebenaran Firman Tuhan secara absolut. Bagaimana dengan Saudara? Ketika membaca Alkitab, siapakah yang memegang otoritas absolut: Saudara atau Alkitab?

Jimmy Pardede


[1] Argumen ini diberikan Mavrodes dengan sederhana dan menarik dalam bentuk cerita mengenai dua orang yang sedang berbincang-bincang di pesawat dalam Faith and Rationality, London: Nortre Dame Press, 1983. Hlm. 100.
[2] Steven B. Cowan, 5 Views on Apologetics, Grand Rapids: Zondervan, 2000. Hlm. 307.
[3] Pembahasan pemikiran Van Til secara sederhana dapat dilihat melalui tulisan John Frame, Cornelius Van Til: An Analysis of His Thought, NJ: P&R, 1995.
[4] Ibid., Hlm. 115.
[5] Lihat pembahasan Wayne Grudem dalam Systematic Theology, Grand Rapids: Zondervan, 1994. Hlm. 78.
[6] Immanuel Kant, Religion Within the Limits of Reason Alone, terj. Theodore Greene, NY: Harper & Row, 1960. Hlm. 103-104.
[7] Pembahasan Teologi-teologi modern dengan ringkas disajikan oleh Harvie Conn, Teologia Kontemporer, terj. Lynne Newell, Malang: SAAT, cetakan ke-3, 1991.


Hermeneutik: Ilmu Tafsir

Banyak perdebatan modern mengenai Alkitab berkisar sekitar persoalan- persoalan mengenai hermeneutika. Ilmu Hermeneutika adalah ilmu penafsiran Alkitab. Dalam mitos Yunani, dewa Hermes adalah pembawa berita para dewa. Tugasnya adalah menafsirkan kehendak dewa-dewa. Karena itu hermeneutika berhubungan dengan penyampaian berita yang dapat dimengerti.

Tujuan hermeneutika adalah menetapkan garis-garis pedoman dan aturan- aturan menafsir. Hermeneutika telah berkembang menjadi ilmu yang teknis dan rumit. Dokumen tertulis mana saja adalah subjek salah tafsir. Karena itu kita telah mengembangkan aturan-aturan untuk menjaga kita dari kesalahpahaman seperti itu. Penelitian ini akan kita batasi hanya sampai pada aturan-aturan dan garis-garis pedoman yang dasar saja.

Secara historis Amerika Serikat memiliki badan khusus yang secara teoritis berfungsi sebagai majelis agung hermeneutika negaranya. Badan ini disebut Mahkamah Agung. Salah satu tugasnya yang utama ialah menafsirkan Konstitusi Amerika Serikat. Konstitusi itu merupakan dokumen tertulis dan memerlukan penafsiran. Asalnya, prosedur menafsir konstitusi itu mengikuti apa yang disebut metode gramatis historis. Maksudnya, konstitusi itu ditafsirkan dengan cara mempelajari kata-kata dokumennya sendiri melalui arti kata-kata tersebut pada waktu dipakai untuk menyusun dokumen itu.

Sejak karya Oliver Wendell Holmes, metode penafsiran konstitusi itu telah berubah secara radikal. Krisis dalam hukum dan kepercayaan masyarakat yang terjadi sekarang ini terhadap mahkamah agung nasional langsung berhubungan dengan problem dasarnya, yaitu metode penafsiran. Pada waktu Mahkamah Agung menafsirkan konstitusi menurut cara-cara modern, hasilnya adalah perubahan konstitusi itu melalui penafsiran ulang. Hasil akhirnya ialah bahwa dengan cara yang sangat halus Mahkamah Agung itu menjadi badan legislatif, jadi telah berubah dari fungsinya yang semula sebagai badan penafsir.

Krisis yang sama telah terjadi dengan penafsiran Alkitab. Ketika ahli- ahli Alkitab memakai metode penafsiran yang menyangkut “memodernkan Alkitab” melalui penafsiran ulang, maka makna asli Alkitab menjadi kabur dan beritanya dikompromikan dengan tren-tren (kecenderungan) zaman ini.

ANALOGI IMAN

Ketika para tokoh Reformasi memisahkan diri dari Roma dan menyatakan pandangan mereka bahwa Alkitab harus menjadi otoritas utama gereja (Sola Scriptura), dengan cermat mereka mendefinisikan prinsip-prinsip dasar penafsiran. Aturan utama penafsiran disebut “analogi iman.” Analogi iman adalah aturan yang mengatakan bahwa Alkitab harus menafsirkan Alkitab: Sacra Scriptura sui interpres (Kitab Suci adalah penafsirnya sendiri). Artinya cukup sederhana, yaitu bahwa tidak ada bagian Alkitab yang dapat ditafsirkan sedemikian rupa sehingga konflik dengan apa yang dengan jelas diajarkan di bagian Alkitab yang lain. Misalnya, jika suatu ayat tertentu memungkinkan adanya dua macam penerjemahan atau penafsiran yang berlainan dan salah satu penafsiran itu berlawanan dengan bagian-bagian Alkitab yang lain, dan penafsiran yang kedua itu cocok dengan keseluruhan makna Alkitab, maka penafsiran yang kedualah yang harus dipakai.

Prinsip itu bertumpu pada kepercayaan sebelumnya kepada Alkitab sebagai Firman Allah yang diwahyukan. Karena itu mereka juga percaya bahwa Alkitab itu konsisten dan koheren (tetap dan berkaitan). Mereka beranggapan bahwa Allah tidak akan berkontradiksi dengan diri-Nya sendiri. Karena itu memilih suatu interpretasi yang menyebabkan Alkitab bertentangan dengan dirinya sendiri, yang sebenarnya tak perlu demikian adalah sama dengan menghujat Roh Kudus. Di zaman kita sekarang ketelitian inspirasi Alkitab sering diabaikan. Sudah umum terdapat para penafsir modern yang tidak hanya menafsirkan Alkitab dengan melawan Alkitab sendiri, tetapi juga menyimpang untuk melakukannya. Usaha-usaha oleh ahli-ahli Alkitab ortodoks untuk menyerasikan pasal-pasal yang sulit dihina dan sangat diabaikan oleh mereka.

Terpisah dari persoalan inspirasi, metode analogi iman adalah metode yang sehat untuk menafsir buah sastra. Norma sederhana mengenai kesopanan yang umum seharusnya melindungi penulis mana saja dari tuduhan-tuduhan berkontradiksi dengan diri sendiri yang tidak berdasar. Jikalau saya dihadapkan kepada pilihan untuk menafsirkan ulasan-ulasan seseorang. Pilihan pertama ialah menyatakan bahwa ulasan-ulasan tersebut konsisten (tetap, tidak berubah-ubah dan tidak kontradiksi). Pilihan kedua ialah menyatakan bahwa ulasan-ulasan tersebut perlu berkontradiksi. Jikalau demikian tampaknya orang tersebut perlu dibebaskan dari tuduhan bahwa ulasan-ulasannya berkontradiksi, karena saya yakin tidak mungkin seseorang berkontradiksi dengan dirinya sendiri.

Pernah orang-orang bertanya kepada saya mengenai pasal-pasal yang telah saya tulis dalam buku-buku saya. Misalnya mengapa saya dapat mengatakan begini dalam pasal 6, sedangkan dalam pasal 4 saya mengatakan begini dan begitu. Saya kemudian menjelaskan apa yang saya maksudkan dalam pasal 6, maka orang tersebut lalu melihat bahwa pada akhirnya kedua macam pemikiran saya itu sebenarnya tidak bertentangan. Perspektif saya dalam pasal 6 agak berbeda dengan perspektif saya dalam pasal 4. Pada pandangan pertama tampaknya kedua perspektif tersebut bertentangan, namun dengan memakai “falsafah melihat kembali kedua kalinya” maka problem itu dapat dipecahkan. Kita semua telah melakukan kesalahfahaman seperti itu, sebab itu kita perlu peka terhadap kata-kata orang lain kalau kita ingin memahaminya.

Sudah barang tentu, mungkin kata-kata saya memang bertentangan. Jadi metode kepekaan dan falsafah “pembebasan dari tuduhan karena diragukan si pelaku memang bersalah” itu hanya dapat diterapkan kalau ada keragu- raguan. Kalau tidak ada keraguan bahwa saya telah berkontradiksi dengan diri saya sendiri, maka yang boleh dilakukan hanyalah mengevaluasi saja. Meskipun demikian, jikalau kita tidak berusaha untuk menafsirkan kata-kata dengan cara konsisten, maka kata-kata yang kita baca itu menjadi sangat kacau. Kalau hal ini terjadi dalam penafsiran Alkitab, maka Alkitab menjadi seperti bunglon yang berubah-ubah warna kulitnya kalau latar belakangnya berubah. Jadi yang dimaksud ialah penafsiran berubah kalau yang menafsir lain.

Jadi jelas bahwa pandangan kita mengenai hakiki dan asal Alkitab memberikan dampak penting pada bagaimana kita akan menafsirkannya. Jika kita memandang Alkitab sebagai Firman Allah yang diwahyukan, maka analogi iman bukanlah metode pilihan, tetapi merupakan tuntutan penafsiran.

Sumber:

Sumber diambil dari:

Judul Buku : Mengenali Alkitab
Judul Artikel :
Penulis : R.C. Sproul
Penerjemah :
Penerbit : Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang, 1994
Halaman :

Yang Lama Dan Yang Baru

Bagi orang Kristen, PL senantiasa penting karena kutipannya terdapat pada hampir setiap halaman PB. Namun, PL menjadi masalah bagi kekristenan dan bahkan sejak masa awal gereja makna dan relevansi PL telah menjadi sumber perdebatan dan kontroversi yang hangat. Hal-hal tersebut merupakan salah satu isu yang menyebabkan gesekan dan perpecahan dari gereja-gereja muda di tahun-tahun segera setelah kematian dan kebangkitan Yesus. Yesus sendiri telah mengklaim bahwa hidup-Nya sendiri adalah penggenapan PL. Namun banyak tindakan-Nya seakan mengabaikan pengajaran-pengajaran utama PL (Matius 5:17), terutama pada subjek seperti peraturan Sabat (Markus 2:23-28), hukum mengenai makanan (Markus 7:14-23), bahkan juga beberapa pengajaran moralnya (Matius 5:21-48). Jadi, otoritas seperti apakah seharusnya dimiliki PL dalam kehidupan pengikut-pengikut Yesus?

Tidak timbul masalah khusus bagi generasi pertama Kristen yang adalah juga orang Yahudi. Sejauh ini, mereka terus mengikuti cara hidup yang sudah mereka terima sejak kecil, yang mendasarkan diri kepada PL sesuai yang dimengerti oleh agama Yahudi abad pertama. Namun, setelah jelas bahwa berita Kristen ditujukan kepada orang-orang non-Yahudi, dan bahwa orang Romawi dan Yunani juga bisa menjadi pengikut Yesus, pertanyaan mengenai otoritas PL muncul dalam bentuk yang lebih mendesak. Apakah orang kafir perlu menjadi Yahudi terlebih dahulu sebelum menjadi Kristen? Paulus dan penulis PB dengan tegas menjawab: tidak perlu (Galatia, 1Petrus, Ibrani). Namun, mereka tetap menerima PL sebagai kitab suci mereka, dan sering menggunakannya sebagai dasar penjelasan iman Kristen.

Justru di sinilah letak masalahnya. Kalau bagian-bagian tertentu PL bisa diabaikan sebagai tidak relevan lagi bagi iman dan tindakan Kristen, bagaimana kita bisa membedakannya, dan apa yang harus kita lakukan dengan bagian sisanya?

MENCARI JALAN KELUAR

Pertanyaan mengenai hubungan antara PL dan PB diungkapkan dengan lantang oleh seorang Kristen abad ke-2, Marcion. Ia bukan hanya melihat sikap para rasul yang ambigu mengenai masalah ini, tetapi ia juga memperhatikan masalah-masalah lain di dalam kepercayaan Kristen kepada PL. Yesus telah berbicara tentang kasih Allah yang mempedulikan kesejahteraan semua manusia. Akan tetapi, ketika membaca PL, Marcion sering melihat gambaran Allah yang agak berbeda, dimana Ia kelihatannya dihubungkan dengan kekejaman dan kebuasan yang ekstrim. Jauh dari kehendak menyelamatkan manusia, Ia kadang-kadang dihubungkan dengan penghancuran mereka. Tentu saja, Marcion sedikit melenceng di dalam melihat gambaran itu: penghakiman yang keras merupakan bagian penting dari pengajaran Yesus, dan kasih Allah tidak pernah absen dari iman PL, seperti yang telah kita lihat dalam berbagai cara.

Namun, bagaimanapun pembaca modern seringkali merasakan hal yang sama, dan beberapa orang Kristen sekarang akan mengalami kesulitan untuk mendamaikan beberapa aspek dari pandangan PL tentang Allah dengan apa yang mereka anggap sebagai pandangan umum Kristen tentang PB. Selain permasalahan yang diangkat oleh Marcion, mereka juga menunjuk kepada perbedaan antara berita kasih Allah yang universal dalam Yesaya 40-55 dengan apa yang tampak sebagai suatu nasionalisme sempit dari kitab seperti Ezra. Bahkan penafsir yang ulung sekalipun sangat kesulitan untuk mendamaikan sikap sentimentil Mazmur 137:8-9 dengan pernyataan untuk mengasihi musuh di dalam khotbah di bukit Yesus (Matius 5:43- 48). Juga, banyak orang sekarang ini sulit memahami beberapa aspek ibadah PL, terutama persembahan korban yang (paling tidak menurut pandangan barat) kelihatannya primitif dan kejam, bahkan sama sekali tidak masuk akal.

Jawaban Marcion terhadap semua ini adalah sederhana: robek PL dan buang ke dalam tempat sampah! Namun pandangan itu tidak didukung secara luas oleh gereja awal, terlebih karena Marcion juga ingin menyingkirkan sebagian besar PB. Hal itu kelihatannya menimbulkan tanda tanya terus akan kesejatian iman Kristennya.

Namun, para pemimpin gereja mula-mula dapat mengerti dengan cukup baik permasalahan yang dipertanyakan Marcion. Pertanyaan mengenai PL itu sungguh nyata. Kalau kedatangan Yesus adalah tindakan yang baru dan menentukan dari Allah dalam dunia ini, lalu apa relevansinya yang dapat dimiliki sejarah umat purba untuk iman di dalam Yesus?

Jawaban umum yang diberikan ialah bahwa ketika PL dimengerti dengan tepat maka PL akan mengatakan hal yang persis sama dengan yang dikatakan PB. Namun, untuk dapat membuktikan hal ini maka perlulah menafsirkan PL sedemikian sehingga dapat menunjukkan bahwa arti sebenarnya entah bagaimana tersembunyi bagi pembaca biasa.

Secara kebetulan, sarjana-sarjana Yahudi telah menghadapi pertanyaan ini dalam konteks yang berbeda. Lebih dari satu abad sebelumnya, penafsir agung Yahudi, Filo (sekitar 20SM-45M), yang tinggal di Aleksandria, Mesir, telah mencoba menyelaraskan PL dengan pemikiran para filsuf besar Yunani. Ada sedikit kaitan yang jelas antara PL dengan filsafat Yunani. Namun, dengan menerapkan penafsiran alegoris yang mistis terhadap PL, Filo berhasil menunjukkan (paling tidak sampai ia merasa puas) bahwa Musa dan para penulis PL lainnya sebenarnya telah menyatakan kebenaran-kebenaran filsafat Yunani beberapa abad sebelum para pemikir Yunani memikirkannya!

Beberapa pemimpin Kristen awal, terutama mereka yang di Aleksandria, mengadopsi pendekatan seperti ini dengan penuh semangat. Mereka segera juga menggunakan teknik yang sama untuk menunjukkan bahwa PL memuat segala sesuatu yang ada dalam PB, bagi mereka yang memiliki mata untuk melihat.

Bahkan hal-hal mendetail yang kelihatannya tidak penting dari kisah PL dijadikan lambang-lambang bagi Injil Kristen. Apa pun yang berwarna merah dapat dimengerti sebagai referensi kepada kematian Yesus di kayu Salib (sebagai contoh, lembu betina merah dari Bilangan 19, tali kirmizinya Rahab dari Yosua 2:18). Air kemudian menjadi gambaran akan baptisan Kristen. Kisah Keluaran, dengan kombinasi dengan darah (di ambang pintu pada saat Paskah) dan air (ketika menyeberangi laut Teberau), menghasilkan banyak penjelasan yang kompleks akan hubungan antara salib dan keselamatan Kristen, juga dengan dua sakramen Kristen, baptisan dan perjamuan kudus!

Uskup Hilary dari Poitiers, Perancis (315-368 M) menjelaskan cara pembacaan PL ini sebagai berikut:

 

“Setiap karya yang termuat di dalam kitab-kitab suci mengumumkan melalui kata, menjelaskan melalui fakta, dan mensahkan melalui contoh-contoh kedatangan Tuhan kita Yesus Kristus …. Sejak permulaan dunia ini, Kristus melalui prafigurasi yang otentik dan mutlak dalam pribadi para patriakh melahirkan, membersihkan, menguduskan, memilih, memisahkan dan menebus gereja: melalui tidurnya Adam, banjir besar pada masa Nuh, berkat dari Melkisedek, pembenaran Abraham, kelahiran Ishak, penawanan Yakub …. Tujuan karya ini adalah untuk menunjukkan bahwa dalam setiap pribadi dalam setiap masa, dan dalam setiap tindakan, gambaran tentang kedatangan, pengajaran, kebangkitan-Nya, dan tentang gereja kita direfleksikan seperti pada cermin” (Hilary, Introduction to The Treatise of Mysteries).

Tidak semua pemimpin gereja senang dengan pendekatan terhadap PL di atas: terutama mereka yang berhubungan dengan pusat kekristenan besar lainnya di Antiokhia, Siria. Namun, biasanya diterima begitu saja bahwa PL adalah kitab Kristen, dan dengan satu dan lain cara isinya berkaitan dengan kepercayaan mendasar teologi Kristen.

Selama Reformasi Protestan, keseluruhan pokok pembicaraan ini sekali lagi dibuka untuk diperiksa. Martin Luther (1483-1546) dan John Calvin (1509-1564) menekankan pentingnya mengerti iman PL berdasarkan konteks sejarah dan sosialnya. Dalam hal ini, pendekatan mereka tidaklah berbeda dari pendekatan banyak sarjana modern. Namun, Luther ingin membedakan nilai PL dari PB dengan melihat PL sebagai Taurat dan PB sebagai Injil. Hal ini memberikan kepadanya alat yang baik untuk memisahkan gandum Injil sejati (menurut Luther ditemukan pada surat- surat Paulus) dari jerami legalisme yang sudah diganti (diidentifikasikan dengan PL dan kekristenan Yahudi). Pemikiran ini telah sangat mempengaruhi kesarjanaan Alkitab sampai masa kini. Akan tetapi, pandangan ini keliru dalam beberapa hal mendasar:

  • Pandangan ini mengabaikan fakta bahwa Taurat bukan dasar iman PL dan juga tidak sama sekali tidak ada di dalam PB. Di dalam PL maupun PB, Taurat diletakkan di dalam konteks pemahaman perjanjian dengan kasih Allah sebagai prinsip dasarnya.
  • Luther sangat keliru mengidentifikasikan Yudaisme dengan legalisme moralistis. Hal ini sangat tidak adil bahkan terhadap pandangan Farisi yang jelas-jelas ditolak oleh Paulus. Dalam hal ini, Luther membiarkan reaksinya sendiri terhadap kekristenan Roma Katholik untuk mewarnai pandangannya terhadap iman PL.

Calvin mengenali beberapa kekurangan ini, dan sebaliknya menekankan kepentingan dari tema perjanjian di PL dan PB. Dengan perbandingan yang teliti akan hubungan Allah dengan umat Israel purba dan dengan gereja Kristen, Calvin mampu mengklaim bahwa dua bagian dari Alkitab Kristen tersebut disatukan oleh suatu pewahyuan yang progresif, di mana janji-janji purba yang diberikan kepada Israel dalam PL mencapai puncaknya di dalam kehidupan gereja Kristen. Pandangan ini bukan tidak memiliki kesulitannya sendiri. Namun, paling tidak pandangan ini mencoba untuk melihat iman PL secara serius. Pandangan Calvin ini masih dipegang oleh banyak orang dari kelompok Kristen konservatif.

Setelah Reformasi, pertanyaan mengenai PL sebagai kitab Kristen tersimpan dengan rapi sampai pada generasi kita. Zaman pencerahan Eropa, dengan tekanan kepada memahami PL sebagai koleksi kitab-kitab kuno dalam konteks masanya sendiri, membawa penyelidikan para sarjana ke arah lain. Namun, dalam 100 tahun terakhir atau lebih ini, pertanyaan teologis tadi telah mencuat ke permukaan lagi. Hal penting yang mendorongnya adalah gerakan Nazi di negara Jerman modern. Perasaan anti Yahudi yang diciptakan oleh Nazi telah berdampak pada gereja-gereja Jerman sendiri, dan kehadiran PL di dalam Alkitab Kristen menjadi isu politis yang membara sekaligus menjadi bahan kajian teologis. Sejumlah teolog Jerman mulai mengadopsi sikap yang sama seperti Marcion. Namun, banyak sarjana Kristen Jerman yang memberikan penilaian positif terhadap signifikansi PL, walaupun mereka menghadapi tekanan secara politik. Sarjana-sarjana seperti Walter Eichrodt dan Gerhard von Rad bahkan juga teolog Swiss, Karl Barth, justru menghasilkan karya-karya yang paling kreatif pada masa tersebut.

Sekarang ini, umat Kristen mengadopsi berbagai sikap terhadap nilai PL:

  • Ada yang ingin memberikan PL nilai dan otoritas yang sama dengan PB, dengan dasar bahwa setiap kata di dalam keduanya adalah kata-kata Allah sendiri secara langsung. Namun, kita harus cukup berhati-hati untuk tidak terlalu gampang menerima gambaran seperti ini karena ada sejumlah pengajaran Yesus sendiri yang dalam berita-Nya jelas menunjukkan sikap penolakan atau perevisian yang sangat radikal terhadap beberapa aspek mendasar dari pengajaran PL.
  • Orang lain memperdebatkan bahwa PL digantikan seluruhnya oleh PB, sehingga bisa disingkirkan. Di sini kita juga harus memelihara suatu keseimbangan yang teliti yang kita temukan pada pengajaran Yesus sendiri karena Yesus juga menguraikan pelayanan-Nya dalam segi tertentu menggenapi PL. Kita bisa secara sah mendebatkan artinya, namun ini pastilah harus mengikutsertakan asumsi bahwa PL memiliki sesuatu untuk kekristenan dan karenanya memiliki tempat yang sah di dalam Alkitab Kristen.
  • Beberapa orang mencoba membedakan antara beberapa bagian dari PL. Mereka akan memisahkan hal-hal seperti hukum-hukum tentang imam, persembahan korban, dan ketahiran (yang tidak lagi dilakukan oleh Kristen) dari bagian-bagian lain seperti Dekalog dan pengajaran- pengajaran moral dari para nabi (yang dianggap masih relevan). Calvin melakukan pembagian yang serupa. Namun, jauh lebih mudah membagi seperti itu daripada membuktikan kebenarannya. Dengan menyingkirkan unsur-unsur yang kelihatannya tidak relevan itu, kita sebenarnya sedang menggeser beberapa aspek paling dasar dari iman PL. Sebagai tambahan, PB justru paling sering menemukan korelasi antara iman PL dengan kepercayaan Kristen tentang Yesus di dalam konsep-konsep seperti persembahan kurban.
  • Juga umum bagi orang Kristen untuk berbicara tentang pewahyuan progresif kehendak dan sifat Allah yang mengaliri kedua perjanjian tersebut. Pandangan ini mengatakan bahwa kehendak Allah dinyatakan melalui sejumlah tahapan, disesuaikan secara kasar dengan kapasitas manusia untuk memahaminya. Jadi, beberapa dari bagian yang lebih sulit dari PL dapat dijelaskan sebagai sesuai dengan masa primitif, yang kemudian diganti dengan pandangan yang lebih maju, dan memuncak pada pengajaran Yesus tentang Allah yang adalah kasih. Namun ini adalah ide yang tidak menolong karena didasarkan kepada ide evolusioner yang sudah ketinggalan zaman mengenai perkembangan moral yang tidak terhindarkan dalam diri manusia. Pandangan ini juga mencampuradukkan pernyataan tentang Allah sebagaimana Dia adanya dengan pernyataan tentang apa yang manusia pikirkan tentang Dia. Sebagai tambahan pandangan ini memuat juga implikasi yang meragukan bahwa orang modern pasti mengetahui lebih banyak mengenai kehendak Allah dan lebih taat kepadanya daripada para bapa leluhur, nabi-nabi, dan tokoh-tokoh utama kisah PL.

MENGADAKAN HUBUNGAN

Ada kesulitan yang nyata di dalam menafsirkan PL dalam Alkitab Kristen. Kita perlu mengenali bahwa PL adalah kitab yang dalam banyak hal aneh dan asing bagi orang modern, baik yang Kristen maupun yang bukan Kristen. Penilaian apapun yang kita berikan kepada iman PL, itu tidak sama dengan iman Kristen. Dalam praktiknya, orang Kristen yang membacanya sering menemukan kesulitan untuk mengerti PL. Hal ini terjadi karena PL berasal dari dunia yang sama sekali berbeda dengan pengalaman iman mereka. Banyak keanehan itu dapat menjadi sirna ketika kita menempatkan iman PL pada konteks sejarah dan sosialnya yang tepat. Itulah yang telah kita coba lakukan. Walaupun kita mungkin tidak menemukan hal seperti kurban persembahan menjadi lebih menarik, paling tidak kita bisa mulai menghargai maknanya di dalam konteks iman Israel. Namun, bukan berarti kita boleh menyingkirkan PL karena pada praktiknya tidaklah mungkin untuk menjelaskan dengan baik iman Kristen tanpa referensi kepada PL.

Pada tingkatan paling dasar, adalah fakta sederhana bahwa kita tidak dapat mengerti PB itu sendiri bila kita tidak mengetahui PL. Yesus dan murid-murid-Nya adalah orang Yahudi. Bagi mereka pikiran PL adalah bagian yang hidup dan penting bagi keberadaan total mereka. Memang dalam banyak hal, mereka melampaui ajaran Yudaisme ketika mereka menemukan bal-hal yang harus dibuang atau dikembangkan dalam terang ajaran baru yang menarik akan tindakan Allah di dalam Kristus. Namun secara keseluruhan mereka terus mengerti pengalaman baru Kristen mereka dalam kategori iman dari mana mereka telah dibesarkan.

Gereja-gereja Kristen paling awal menggunakan PL Yunani sebagai Alkitab mereka – dan bahasa dalam PB sendiri memiliki lebih banyak persamaan dengannya dibandingkan dengan sastra kebudayaan sekuler Yunani dan Romawi. Bahasa ini mempengaruhi cara mereka menjelaskan pengertian mereka akan kekristenan. Sesungguhnya, bahasa PL masih mempengaruhi pemikiran Kristen sekarang. Orang Kristen modern yang tidak pernah melihat kurban bakaran binatang masih menyanyikan di gereja-gereja akan Kurban yang sejati dan kekal dari Yesus. Banyak di antara mereka yang masih menyebutkan suatu bagian dari gedung gereja mereka sebagai altar, walaupun tidak pernah terjadi penumpahan darah di situ. Mungkin kita perlu memeriksa semua perlambangan ini dan menyajikan ulang beritanya dalam konsep berbeda untuk orang modern. Namun, agar dapat melakukan hal tersebut dengan baik, kita perlu mengerti semuanya terlebih dahulu sebab kalau tidak kita akan selalu ada dalam bahaya membuang fakta bahwa Kristus mati bagi dosa-dosa kita bersama dengan bahasa persembahan kurban, mezbah, dan penebusan. Tempat untuk menemukan arti yang tepat akan hal-hal ini tentu saja adalah PL.

Akan tetapi, PL bukan hanya menjadi latar belakang bahasa dan kebudayaan bagi pemikiran penulis-penulis PB. Perjanjian Lama juga mengandung pernyataan-pernyataan kebenaran yang penting akan Allah dan hubungan-Nya dengan umat manusia dan dunia yang sampai sekarang masih sama benarnya dengan dulu. Jika kita melihat kembali judul setiap pasal yang menaungi eksplorasi kita terhadap iman PL, dapat mudah terlibat bagaimana konsep-konsep kunci dari tiap bagian membentuk dasar teologis yang sangat penting bagi iman Kristen sebagaimana yang disajikan dalam PB. Ada suatu keterkaitan yang erat antarkedua Perjanjian ini sehinga tidaklah berlebihan kalau kita mengklaim bahwa iman Kristen sendiri menjadi kurang sempurna kalau kita menyingkirkan penegasan-penegasan dasar iman PL dari Alkitab Kristen.

Allah yang hidup

Kesimpulan-kesimpulan di atas tampak paling jelas dalam hal kepercayaan-kepercayaan mengenai Allah sendiri.

  • Ada kebenaran bahwa hanya ada satu Allah, dan bahwa Ia adalah mahakuasa dan juga secara pribadi memikirkan kesejahteraan manusia biasa. Istilah yang sering dipakai oleh para teolog masa kini untuk dua aspek sifat Allah ini ialah transendensi dan imanensi. Kita boleh sangat yakin bahwa istilah ini tidak banyak berarti bagi umat PL. Sesungguhnya, mungkin saja kebenaran tentang Allah ini tidak dimengerti secara sama oleh semua kelompok dari umat Israel. Namun pengertian ini secara pasti tersirat dalam pengakuan iman yang paling awal yang mendorong umat untuk menyembah satu Allah saja (Kel. 15:11- 18)- walaupun mungkin baru beberapa abad kemudian para nabi agung menegaskannya secara sistematis tentang kendali tunggal Allah atas dunia dan yang terjadi dalamnya (Yes. 40:12-31; 41:21-29; 44:1-20).
  • Berkaitan dengan fakta bahwa Allah adalah satu adalah kepercayaan bahwa tuntutan Allah kepada umat-Nya adalah terutama dalam hal moral ketimbang ibadah keagamaan dan larangan ritus. Kita telah membahas bahwa ini adalah hal yang baru karena kebanyakan agama purba lebih tertarik kepada korban dan ritus daripada moral. Namun, pengertian keseluruhan PL tentang ibadah menjadi tidak berarti bila dua aspek ini dipisahkan.
  • Kemudian, ada gagasan tentang anugerah Allah – kenyataan bahwa Ia memberikan pemberian-pemberian yang sebenarnya tidak layak diterima umat. Seluruh kisah PL disatukan atas pengetahuan tentang Allah yang telah melakukan hal-hal besar terhadap umat-Nya, dan atas dasar itulah Allah dapat menuntut kesetiaan dan ketaatan mereka. Setiap tahapan kisah tersebut menunjukkan tindakan kepedulian Allah untuk secara aktif berkarya bagi keselamatan umat-Nya. Prinsip perjanjian ini masih merupakan dasar untuk pengertian setiap orang Kristen mengenai Allah dan jalan-jalan-Nya. Perjanjian Lama seperti PB menggambarkan Allah bekerja dalam kasih untuk kebaikan umat-Nya. Walaupun dalam PB ada pergeseran fokus dari peristiwa seperti keluaran dari Mesir atau pembuangan kepada Yesus sebagai pusat, asumsi dasarnya adalah sama, yaitu Allah adalah Allah yang aktif dan pengasih, yang karya-karya-Nya dapat terlihat di dalam kehidupan sehari-hari orang-orang biasa.
  • Kita telah melihat dalam beberapa hal bahwa PL tidak menguraikan Allah secara metafisis, misalnya dengan menanyakan, “Terbuat dari apakah Dia?,” tetapi secara fungsional, dengan menanyakan: “Bagaimanakah Dia bertindak?” Perjanjian Baru juga memakai pendekatan yang sama, ketika secara praktis PB mengatakan: “Lihatlah Yesus: seperti inilah Allah.”

Allah dan dunia

Tidaklah terlalu sulit untuk menunjukkan kesamaan PL dan PB dalam hal aspek-aspek penting dari sifat Allah. Namun, tanpa PL, iman Kristen juga akan kekurangan secara serius suatu perspektif dalam cara Allah merelasikan diri-Nya dengan dunia alam.

  • Dalam dunia kekristenan awal, adalah umum untuk mempercayai bahwa dunia fisik, alam tempat kita hidup ini pada dasarnya adalah jahat. Jadi, suatu keselamatan yang berarti harus melibatkan kelepasan dari dunia ini ke dunia lain yang lebih rohani dan dengan sendirinya dunia yang lebih sempurna. Ini adalah bagian penting dari pandangan Yunani. Ketika kekristenan bergerak ke luar Palestina meluas ke wilayah kekaisaran Romawi lainnya, selalu merupakan godaan bagi orang Kristen untuk menerima pandangan Yunani ini. Walaupun ada banyak perdebatan yang hangat mengenai hal ini, kekristenan tidak pernah menerima pandangan bahwa eksistensi fisik adalah nomor dua. Namun, mereka mampu menegaskan bahwa hidup itu pada dasarnya baik hanya karena keyakinan PL yang kukuh yang mempengaruhi pemikiran mereka. Sebagai akibatnya: para penulis PB tidak melihat keselamatan sebagai kelepasan dari dunia ini. Mereka menyatakan bahwa dalam rencana keselamatan Allah, dunia sendiri ada bagiannya. Kedatangan Yesus berarti penghidupan dan pembaruan bagi dunia ini (Rm. 8:18-25; Kol. 1:15-20; Why. 21-22). Tanpa pandangan seperti ini, orang Kristen modern tidak dapat berkata banyak mengenai isu-isu abad ke-20 ini, seperti perlombaan senjata nuklir dan penggunaan sumber-sumber alam dunia ini. Namun, dengan mengikutsertakan dunia fisik ini ke dalam pengharapan keselamatan, para penulis PB memiliki dasar yang teguh pada iman PL yang telah mendahului mereka.
  • Ketika PB menjelaskan hubungan Yesus Kristus dengan umat manusia, PB sekali lagi memakai dasar pandangan PL tentang umat manusia dan hubungan mereka dengan Allah. Perjanjian Baru memakai begitu saja dasar-dasar konsep teologis dari kisah penciptaan, dan melihat dosa manusia sebagai penghalang antara Allah dengan manusia yang perlu disingkirkan kalau persekutuan itu akan dipulihkan. Keseluruhan struktur pemikiran ini begitu penting bagi teologi Kristen sehingga tanpa pemahaman PL ini kita meragukan apakah iman rasuli dapat berkembang seperti yang ada sekarang ini.

Allah dan umat-Nya

Etika PB juga berhutang banyak kepada PL.

  • Ide hukum alam yang telah kita diskusikan dalam kaitannya dengan PL merupakan prasyarat dasar bagi iman Kristen. Paulus memakai hukum alam ini sebagai kunci penting untuk menjelaskan bagaimana kehidupan, kematian, dan kebangkitan Yesus dapat diaplikasikan kepada semua manusia, tanpa memandang asal-usul sosial dan ras mereka (Rm. 1:18- 2:16).
  • Kerangka perjanjian yang menjadi tempat moralitas PL beroperasi tetap menjadi pusat di dalam PB. Kedatangan Yesus dipandang sebagai lanjutan tindakan agung Allah yang bisa dibandingkan dengan kisah Keluaran, dan menuntut respons ketaatan dan komitmen yang serupa. Akan tetapi, keseluruhan pola etika Kristen juga bergantung kepada tekanan dasariah PL bahwa manusia harus bertingkah laku seperti Allah (Mat. 5:48). Satu-satunya perbedaan ialah bahwa pola Ilahi ini dinyatakan secara lebih eksplisit karena teladan dari Yesus sendiri, di mana orang Kristen dipanggil untuk meneladaninya (Flp. 2:5-11; 2Kor. 8:8-9).
  • Kemudian, ada etika sosial Kristen yang juga bergantung begitu banyak kepada warisan PL. Dengan berbagai alasan, PB sedikit sekali berbicara mengenai bagaimana Allah bersikap terhadap bangsa-bangsa lain. Tanpa PL, iman Kristen akan menjadi sangat miskin dalam hal ini karena di dalam iman PL kita mendapatkan dasar-dasar bagi filsafat Kristen tentang sejarah. Tentu pandangan PL memerlukan modifikasi di sana sini berdasarkan terang ajaran Yesus sendiri. Namun, bukanlah suatu hal kebetulan bila orang-orang Kristen modern di dalam menyatakan sikap terhadap masalah-masalah sosial dan politik mereka begitu sering bergantung kepada pemahaman para nabi dan pemberi hukum Israel purba.

Menyembah Allah

Di sini juga, iman PB berutang kepada PL lebih dari yang biasa kita duga.

  • Corak ibadah gereja awal, demikian juga banyak gereja modern, bertumbuh dari pola pujian dan perayaan sukacita yang kita temukan di dalam lembaran-lembaran PL.
  • Korelasi antara makna ibadah di dua perjanjian itu lebih menonjol lagi. Prinsip yang mendasari ibadah PL maupun Kristen adalah demikian: walaupun Allah adalah kudus – dalam setiap aspek yang terkandung dari kata itu – Ia juga Allah yang penuh pengampunan, dan realitas pengampunan itu dapat diwujudkan di dalam peristiwa ibadah di hadapan umat Allah.
  • Kita tentu saja tidak dapat mengabaikan bagaimana tema persembahan korban telah menjadi sangat penting di dalam pemikiran Kristen. Para penulis PB menegaskan bahwa semua yang dijanjikan oleh ibadah persembahan korban di dalam PL telah digenapi di dalam kehidupan, kematian, dan kebangkitan Yesus. Tidak mungkin untuk membicarakan apa yang Yesus dapat lakukan di dalam hidup umat-Nya tanpa merujuk kepada pengharapan dan aspirasi umat yang beribadah di zaman Israel purba. Sesungguhnya, seluruh konsep persembahan kurban begitu pentingnya di dalam tradisi Kristen, sehingga setidaknya ada sebagian besar gereja berpikir bahwa persembahan kurban bukan hanya semata perlambangan atau metafora teologis, tetapi juga sebagai bagian simbol yang berkesinambungan dari liturgi yang terus berlangsung dari ibadah komunitas Kristen.
Sumber:

Sumber diambil dari:

Judul Buku : Bagaimana Memahami Perjanjian Lama III
Judul Artikel : Yang Lama dan yang Baru
Penulis : John Drane
Penerjemah : Hans Wuysang, M.Th.
Penerbit : Persekutuan Pembaca Alkitab, Jakarta, 2003
Halaman : 116 – 124

Pemahaman Alkitab Pribadi dan Penafsiran Pribadi

Dua warisan yang kita peroleh dari gerakan Reformasi adalah prinsip penafsiran pribadi dan terjemahan Alkitab ke dalam bahasa setempat. Kedua prinsip tersebut bergandengan tangan dan baru diselesaikan setelah terjadi dua perdebatan sengit dan penganiayaan. Banyak orang menjadi martir dengan menjalani hukuman dibakar hidup-hidup (terutama di negeri Inggris) karena berani menerjemahkan Alkitab ke dalam mereka sendiri. Salah satu pencapaian Luther yang terbesar adalah terjemahan Alkitab ke dalam bahasa Jerman sehingga setiap orang yang melek huruf dapat membacanya sendiri.

Luther sendirilah yang meruncingkan persoalan penafsiran Alkitab secara pribadi pada abad ke-16. Di balik respons Bapak Reformasi itu terhadap penguasa-penguasa gereja dan negara di Majelis Worms, sebenarnya terdapat prinsip penafsiran pribadi.

Pada waktu Luther diminta untuk menarik kembali tulisan-tulisannya, ia menjawab, “Kecuali kalau saya diyakinkan oleh Kitab Suci atau oleh alasan yang nyata, saya tidak dapat menarik diri. Karena hati nurani saya ditawan oleh Firman Allah, maka tidak benar dan tidak aman melawan hati nurani itu. Di sini saya berdiri. Saya tidak dapat berbuat lain. Allah menolong saya.” Perhatikan, Luther berkata, “kecuali kalau saya diyakinkan…” Pada perdebatan-perdebatan yang lebih awal di Leipzig dan Augsburg, Luther telah berani menafsir Alkitab berlawanan dengan interpretasi-interpretasi atau penafsiran-penafsiran Paus dan majelis-mejelis gereja. Begitu beraninya ia, sehingga dituduh congkak oleh pejabat-pejabat gereja. Luther tidak menganggap enteng tuduhan-tuduhan itu, melainkan menderita sekali karena mereka. Ia berpendapat ia dapat saja salah, namun ia juga bersikeras mengatakan bahwa Paus dan majelis-majelis juga bisa salah. Bagi dia hanya satu saja sumber kebenaran yang bebas dari salah. Ia berkata, “Alkitab tidak pernah salah.” Jadi, kecuali jika pemimpin-pemimpin gereja dapat menyakinkan dia mengenai kesalahannya, ia merasa diikat oleh kewajiban untuk mengikuti apa yang hati nuraninya diyakinkan oleh ajaran Alkitab. Melalui perdebatan ini lahirlah konsep penafsiran pribadi, yang langsung dibaptis oleh api.

Setelah deklarasi Luther yang berani dan menyusul karyanya menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Jerman di Wartburg, Gereja Roma Katolik tidak tergelimpang mati. Gereja itu memobilisasikan kekuatannya untuk serangan balasan seolah-olah dengan tombak berujung tiga. Serangan balasan ini dikenal sebagai “Counter Reformation.” Salah satu ujung tombak yang ditikamkan adalah seperangkat formulasi melawan Protestanisme oleh Konsili Trent. Trent berbicara melawan banyak pokok bahasan yang dikemukakan oleh Luther dan tokoh-tokoh Reformasi lainnya. Di antara pokok-pokok bahasan itu ada yang mengenai penafsiran. Trent berkata;

Untuk mengekang semangat-semangat liar, Konsili Trent menetapkan bahwa tidak ada seorang pun diperbolehkan menafsirkan secara pribadi persoalan-persoalan iman dan moral yang berhubungan dengan pembangunan doktrin Kristen. Itu berarti membengkokkan Kitab Suci menurut pemikirannya sendiri dan berani melawan penafsiran Gereja Induk Suci (Katolik Roma). Hak menafsirkan makna Kitab Suci yang sebenarnya ada pada Gereja Induk Suci, meskipun penafsiran itu berlawanan dengan pengajaran yang telah disepakati bersama oleh Bapak-bapak gereja. Tidak seorang pun boleh menafsirkan Kitab Suci secara pribadi meskipun tafsirannya itu tidak untuk diterbitkan.

Pernyataan itu antara lain berkata bahwa Gereja Katolik Romalah yang berkewajiban menguraikan dan menyatakan makna Alkitab serta mengajarkannya. Pernyataan Trent ini jelas dirancang untuk melawan prinsip penafsiran pribadi pihak Reformasi.

Namun jika kita memeriksa pernyataan di atas lebih teliti, kita dapat melihat salah pengertian yang serius tentang prinsip Reformasi. Apakah tokoh-tokoh Reformasi mengembangkan ide penafsiran liar? Apakah penafsiran pribadi berarti bahwa setiap orang berhak menafsirkan Alkitab sesuka hatinya, menuruti apa yang cocok dengan dirinya sendiri? Bolehkah orang menafsirkan Alkitab dengan cara tidak keruan, tidak konsisten, tanpa kendali? Apakah setiap pribadi harus menghargai penafsiran-penafsiran orang lain, misalnya yang berspesialisasi dalam mengajar Alkitab? Jawaban-jawaban pertanyaan-pertanyaan tersebut jelas. Tokoh-tokoh Reformasi juga berprihatin terhadap cara-cara dan sarana-sarana untuk mengekang semangat-semangat liar. Ini jugalah salah satu alasan mengapa mereka bekerja giat untuk menjelaskan prinsip-prinsip sehat penafsiran Alkitab sebagai pengekangan dan keseimbangan menghadapi penafsiran yang fantastis. Tetapi cara mereka berusaha mengekang semangat-semangat liar bukanlah dengan menyatakan bahwa pengajaran-pengajaran pemimpin-pemimpin gereja tidak bisa salah.

Mungkin istilah yang paling penting yang muncul dalam deklarasi Trent tersebut ialah kata membengkokkan. Trent mengatakan bahwa tidak seorang pun memiliki hak pribadi untuk membengkokkan Alkitab. Para Reformasi dengan sebulat hati menyetujuinya. Penafsiran pribadi tidak pernah dimaksudkan agar setiap pribadi berhak membengkokkan Alkitab. Bersama dengan hak penafsiran pribadi adalah tanggung jawab yang penuh kesadaran untuk penafsiran akurat. Penafsiran pribadi memberikan izin menafsir tapi tidak memberikan izin membengkokkan Alkitab.

Jika kita melihat kembali pada zaman Reformasi beserta dengan respons kejam pihak Inkuisisi (suatu badan milik Gereja Katolik Roma di abad ke-13 untuk menyelidiki dan menghukum bidat-bidat) dan penganiayaan-penganiayaan terhadap orang-orang yang mengalihbahasakan Alkitab, kita menjadi ngeri. Kita heran bagaimana para pemimpin Gereja Katolik Roma dapat begitu jahat menyiksa orang-orang karena membaca Alkitab. Namun apa yang sering tidak dilihat dalam perenungan historis seperti itu adalah itikad baik orang-orang yang terlibat dalam tindakan tersebut. Roma yakin bahwa jikalau Alkitab diletakkan di tangan kaum awam yang tidak berpendidikan teologi dan membiarkan mereka menafsir Alkitab, maka pembengkokan-pembengkokan atau penyimpangan-penyimpangan besar akan terjadi. Hal ini akan menyesatkan domba-domba, mungkin juga akan membawa mereka ke neraka kekal. Jadi untuk melindungi domba-domba supaya jangan memasuki jalan yang membawa kepada pemusnahan diri pada akhirnya, Gereja menempuh cara hukuman badan, bahkan sampai kepada hukuman mati.

Luther menyadari bahaya-bahaya gerakan Alkitab di tangan awam, tapi yakin tentang kejelasan Alkitab. Jadi meskipun bahaya penyimpangan besar, ia berpendapat bahwa faedah memperlihatkan berita dasar Injil yang jelas kepada orang banyak akan pada akhirnya lebih banyak membawa orang kepada keselamatan daripada kepada kebinasaan. Luther bersedia mengambil resiko mendobrak pintu air yang akan mengakibatkan banjir kesalahan.

Penafsiran pribadi membuka Alkitab untuk kaum awam, tapi tidak membuang prinsip pendidikan rohaniwan. Kembali kepada zaman-zaman Alkitab, para Reformasi mengakui bahwa dalam praktik dan pengajaran Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru ada kedudukan penting untuk para rabi (guru), ahli Taurat dan pelayanan di bidang pengajaran. Bahwa para guru harus ahli dalam bahasa-bahasa asli Alkitab, adat istiadat zaman Alkitab, sejarah suci dan analisis sastra, masih menjadi ciri penting gereja Kristen. Doktrin Luther yang terkenal, “imamat rajani” sering disalahfahami. Doktrin ini tidak berarti tidak ada perbedaan antara rohaniwan dan awam. Doktrin ini hanya menegaskan bahwa setiap orang Kristen harus berperan dan berfungsi untuk melangsungkan pelayanan gereja secara keseluruhan. Kita semua dipanggil untuk menjadi “Kristus bagi sesama kita” dalam pengertian tertentu. Namun ini tidak berarti bahwa gereja tidak memiliki gembala-gembala atau guru-guru.

Banyak orang telah dikecewakan oleh gereja yang terorganisasi di zaman kebudayaan masa kini. Sebagian di antara mereka bereaksi melampaui batas ke arah anarki gereja. Muncul dari revolusi budaya tahun 60-an dengan kedatangan “Jesus movement” (gerakan Yesus) dan gereja “bawah tanah” muncul pada slogan-slogan pemuda, “Saya tidak perlu mencari pendeta. Saya tidak mempercayai gereja yang terorganisasi ataupun pemerintahan tubuh Kristus yang berstruktur.” Di tangan orang-orang seperti itu prinsip penafsiran pribadi dapat menjadi izin untuk subjektivisme radikal.

OBJECTIVITAS DAN SUBJECTIVITAS

Bahaya penafsiran pribadi yang besar adalah bahasa subjectivisme dalam penafsiran Alkitab masa kini. Bahayanya lebih meluas daripada yang dapat kita lihat secara langsung. Saya telah melihat bahaya yang sulit dilihat oleh sembarang orang pada waktu saya ikut serta dalam diskusi dan perdebatan teologis.

Baru-baru ini saya ikut diskusi panel bersama dengan para ahli Alkitab. Kami sedang mendiskusikan pro dan kontra mengenai Perjanjian Baru tertentu yang makna dan penerapannya mengundang perdebatan. Dalam pernyataan pembukaannya, seorang ahli Perjanjian Baru berkata, “Saya berpendapat bahwa kita harus terbuka dan jujur mengenai bagaimana metode pendekatan kita terhadap Perjanjian Baru. Pada analisis terakhir kita akan membacanya seperti apa yang kita ingin baca. Itu tidak menjadi soal.” Hampir saya khawatir salah dengar. Saya begitu kaget sehingga tidak membantahnya. Keterkejutan saya bercampur dengan perasaan kesia-siaan dalam mengusahakan kemungkinan bertukar pendapat yang cukup berarti. Jarang sekali mendengar ahli yang menyatakan prasangkanya begitu terang-terangan di depan umum. Kita semua mungkin bergumul melawan kecenderungan yang berdosa melawan keinginan membaca Alkitab sesuai dengan keinginan kita, namun saya harap kita tidak selalu memakai cara itu. Saya percaya ada sarana-sarana yang tersedia bagi kita untuk mengekang kecenderungan itu.

Pada tingkat umum, kemudahan untuk menerima semangat subjectivisme penafsiran Alkitab ini juga sama lazimnya. Sering terjadi, setelah saya selesai membahas makna suatu pasal, orang mendebat pernyataan saya dengan mengatakan, “Ah, itu kan pendapatmu.” Komentar itu menunjukkan apa? Pertama, jelas sekali bagi semua orang yang hadir di situ bahwa tafsiran yang saya kemukakan adalah pendapat saya sendiri. Saya hanya seseorang yang baru saja mengemukakan pendapat. Tetapi bukan demikian pendapat orang lain.

Kedua, mungkin komentar itu menunjukkan perdebatan tanpa suara dengan memakai asosiasi yang salah. Dengan cara menunjuk bahwa pendapat yang saya kemukakan itu hanya pendapat saya sendiri, mungkin orang tersebut merasa bahwa itu saja yang diperlukan untuk mendebat, karena setiap orang beranggapan sama menganai saya meskipun tidak dikatakan, yaitu begini: apa saja pendapat yang ke luar dari mulut R.C. Sproul pasti salah karena ia tidak pernah dan tidak akan pernah betul. Betapapun bermusuhannya mereka terhadap pendapat-pendapat saya, saya tidak yakin bahwa itulah yang mereka maksudkan ketika mereka berkata, “Ah, itu kan pendapatmu.”

Saya kira alternatif yang paling mungkin dapat digambarkan dengan kata-kata ini, “Itu penafsiranmu yang baik untukmu saja. Saya tidak menyetujuinya, tetapi tafsiran saya sama absahnya. Meskipun tafsiran-tafsiran kita bertentangan, keduanya mungkin betul. Apa yang saya sukai itu betul bagi saya dan apa yang saya sukai itu betul bagimu.” Inilah subjektivisme.

Subjektivisme tidak sama dengan subjektivitas. Mengatakan bahwa kebenaran memiliki elemen subjektif, lain daripada mengatakan bahwa kebenaran itu sepenuhnya subjektif. Supaya kebenaran atau kepalsuan dapat bermakna untuk hidup saya, haruslah diterapkan kepada hidup saya dengan cara tertentu. Pernyataan, “Hujan turun di tempat itu” pada kenyataannya boleh benar secara objektif, tetapi tidak relevan dengan hidup saya. Saya baru dapat melihat relevansinya, misalnya, kalau ditunjukkan bahwa hujan itu begitu derasnya sehingga banjir dan merusakkan sawah ladang saya di dekat situ yang baru saja saya tanami. Baru waktu itu pernyataan itu mempunyai relevansi subjektif dengan hidup saya. Pada waktu kebenaran suatu proposisi memukul dan mencekam saya, barulah persoalannya menjadi subjektif. Penerapan teks Alkitab kepada kehidupan saya mungkin bernada sangat subjektif. Tapi ini bukan yang kita maksudkan dengan subjektivisme. Subjektivisme terjadi jikalau kita membengkokkan makna objektif istilah-istilah supaya cocok dengan minat-minat kita sendiri. Mengatakan, “Hujan turun di tempat itu” mungkin tidak berelevansi dengan hidup saya di sini, tetapi perkataan itu tetap bermakna. Perkataan itu bermakna bagi kehidupan manusia di sana, bagi tanaman-tanamannya dan binatang-binatangnya.

Subjektivisme terjadi apabila kebenaran suatu pernyataan tidak hanya diperluas atau diterapkan pada subjeknya, tetapi apabila kebenaran itu secara mutlak ditetapkan oleh subjeknya. Jika kita ingin menghindarkan diri dari pembengkokan atau penyimpangan Alkitab dari awal kita sudah harus menghindari subjektivisme.

Dalam usaha memahami Alkitab secara objektif, kita tidak dapat menciutkan Alkitab menjadi sesuatu yang dingin, abstrak dan mati. Yang harus kita lakukan adalah berusaha memahami apa yang dikatakan olehnya di dalam konteksnya sebelum kita melaksanakan tugas yang sama pentingnya, yaitu menerapkan pada diri kita sendiri. Suatu pernyataan tertentu boleh saja mempunyai kemungkinan adanya sejumlah penerapan-penerapan pribadi, tetapi pernyataan itu hanya dapat memiliki satu arti saja yang benar. Penafsiran-penafsiran yang berlain-lainan yang saling kontradiksi dan tidak dapat disatukan, tidak mungkin benar, kecuali kalau Allah berbicara dengan lidah bengkok. Kita akan membahas persoalan kontradiksi dan makna tunggal pernyataan-pernyataan secara lebih lengkap belakangan. Namun sekarang ini kita membahas penetapan sasaran-sasaran penafsiran Alkitab yang sehat. Sasaran pertama ialah kepada makna Alkitab yang objectif dan menghindari perangkap-perangkap pembengkokan yang disebabkan oleh membiarkan penafsiran-penafsiran dikuasai oleh subjektivisme.

Ahli-ahli Alkitab membuat perbedaan penting antara apa yang mereka sebut sebagai eksegesis dan eisogesis. Eksegesis berarti menerangkan apa yang dikatakan oleh Alkitab. Kata itu berasal dari kata Yunani yang berarti, “memimpin ke luar.” Kunci kepada eksegesis ada pada awalan “eks” yang berarti “dari” atau “ke luar dari”. Melakukan eksegesis kepada Alkitab berarti mengeluarkan makna yang terdapat pada kata-katanya, tanpa ditambahi dan tanpa dikurangi. Sebaliknya kata eisogesis berasal dari akar kata yang sama, tetapi dengan awalan yang berlainan. Awalan eis, juga berasal dari bahasa Yunani yang berarti “ke dalam”. Jadi, eisogesis menyangkut memasukkan ide sendiri ke dalam teks yang sebenarnya sama sekali tidak terdapat dalam kata-kata teks tersebut. Eksegesis adalah usaha yang objektif. Eisogesis menyangkut praktik subjektivisme.

Kita semua harus bergumul dengan problem subjektivisme. Alkitab sering mengatakan hal-hal yang tidak ingin kita dengar. Dalam hal ini kita dapat menutup telinga dan mata kita. Jauh lebih mudah dan jauh lebih tidak menyakitkan untuk tidak mengkritik Alkitab daripada dikritik oleh Alkitab. Tidak heran Yesus sering menutup pembicaraan-Nya dengan, “Siapa mempunyai telinga untuk mendengar, hendaklah ia mendengar!” (Luk. 8:8; 14:35).

Subjektivisme tidak saja menghasilkan kesalahan dan penyimpangan, tetapi juga kesombongan. Mempercayai apa yang saya percayai hanya karena saya mempercayainya, atau mempertahankan kebenaran pendapat saya hanya karena itu adalah pendapat saya, adalah contoh kesombongan. Jikalau pandangan-pandangan saya tidak dapat lulus ujian analisis subjektif dan pembuktian, kerendahan hati menuntut supaya saya meninggalkan pandangan itu. Seorang penganut subjektivisme memiliki kesombongan untuk mempertahankan pendapatnya tanpa dukungan atau bukti-bukti objektif. Perkataan, “jika kau ingin mempercayai apa yang kau percayai, baiklah. Saya akan ingin mempercayai apa yang saya percayai,” kedengarannya hanya rendah hati di kulit saja.

Pandangan-pandangan pribadi harus dinilai dengan bukti dan pendapat di luar karena kita cenderung membawa kelebihan bobot kepada Alkitab. Tidak ada seorang pun di bumi ini yang memiliki pengertian tentang Alkitab dengan sempurna. Kita semua berpegang pada pandangan-pandangan dan menyukai ide-ide yang bukan dari Allah. Mungkin jika kita tahu secara tepat pandangan-pandangan kita yang mana yang salah itu sulit. Jadi pandangan-pandangan kita memerlukan peralatan yang dapat mengeceknya, yaitu berupa riset dan keahlian orang-orang lain.

PERANAN GURU

Dalam gereja-gereja Reformed pada abad ke-16 diadakan perbedaan antara dua macam tua-tua: tua-tua pengajar dan tua-tua pengatur. Tua-tua pengatur dipanggil untuk memerintah dan mengurus persoalan-persoalan jemaat. Tua-tua pengajar, atau gembala-gembala, terutama bertanggung-jawab untuk mengajar dan melengkapi orang-orang suci untuk pelayanan.

Kira-kira dekade terakhir ini mengalami waktu yang luar biasa dalam pembaruan di banyak tempat. Organisasi-organisasi para gereja (organisasi-organisasi Kristen yang tidak dapat disebut gereja tetapi menjalankan aktivitas-aktivitas yang sejajar dengan gereja) telah berbuat banyak untuk memulihkan fungsi penting kaum awam bagi gereja lokal. Konperensi-konperensi pembaruan kaum awam sudah umum. Penekanannya tidak lagi pada pengkhotbah-pengkhotbah besar, tapi pada program-program besar untuk dan oleh kaum awam. Ini bukan zaman untuk pengkhotbah besar, tetapi zaman untuk jemaat besar.

Salah satu perkembangan penting gerakan pembaruan kaum awam ialah munculnya sejumlah kelompok pemahaman Alkitab kecil-kecil yang dilaksanakan di rumah-rumah tangga. Di sini suasana keakraban dan informalitas terasa. Orang-orang yang dengan cara lain di tempat lain tidak akan tertarik kepada Alkitab di sini maju dalam hal mempelajari Alkitab. Dinamika kelompok dalam bentuk kecil pada dasarnya merupakan kunci untuk membuka hati kaum awam. Kaum awam saling mengajar atau mengumpulkan ide-ide mereka sendiri dalam kelompok-kelompok pemahaman Alkitab seperti itu. Kelompok-kelompok seperti itu telah berhasil membarui gereja. Mereka akan lebih berhasil waktu mereka makin ahli memahami dan menafsir Alkitab. Bahwa orang mulai membuka Alkitab dan mempelajarinya bersama-sama adalah hal yang luar biasa besar. Tetapi ini juga sangat berbahaya. Mengumpulkan pengetahuan membangun gereja. Mengumpulkan ketidaktahuan merusak gereja dan menunjukkan problem orang buta memimpin orang buta.

Meskipun kelompok-kelompok kecil pemahaman Alkitab di rumah-rumah tangga dapat menjadi sarana sangat efektif untuk pembaruan gereja dan perubahan masyarakat, ada waktunya mereka harus menerima pengajaran sehat dari pihak yang dapat dipertanggungjawabkan. Saya tetap yakin bahwa gereja memerlukan rohaniwan yang telah terdidik. Studi pribadi dan interpretasi pribadi harus diimbangi oleh kebijaksanaan guru-guru secara kolektif. Jangan salah paham. Saya tidak memanggil gereja untuk kembali pada situasi pra-Reformasi waktu Alkitab ditawan oleh para rohaniwan. Saya bergembira melihat orang mulai mempelajari Alkitab secara berdikari. Dengan demikian darah para martir tidak percuma tumpah. Tapi saya ingin mengatakan bahwa orang awam itu bijaksana kalau mengadakan pemahaman Alkitab yang tidak lepas dari otoritas gembala-gembala atau guru-guru mereka. Kristus sendirilah mengaruniai gereja-Nya dengan karunia mengajar. Karunia itu dan jawatan itu harus dihormati kalau umat Kristus ingin menghormati Kristus.

Penting bagi para guru untuk mendapatkan pendidikan yang memadai. Sudah barang tentu kadang-kadang muncul guru-guru yang meskipun tidak mendapatkan pendidikan formal, namun memiliki wawasan ke dalam Alkitab yang luar biasa. Namun orang-orang seperti itu jarang sekali. Lebih sering kita menghadapi problem dari orang-orang yang mengaku dirinya guru tapi sama sekali tidak berkualitas mengajar. Seorang guru yang baik harus memiliki pengetahuan yang sehat dan keahlian-keahlian yang diperlukan untuk menguraikan bagian-bagian Alkitab yang sulit. Di sini diperlukan penguasaan bahasa asli, sejarah dan teologi, bahkan amat diperlukan.

Jika meneliti sejarah orang Yahudi zaman Perjanjian Lama, kita melihat bahwa ancaman yang paling keras dan terus menerus adalah ancaman dari pihak nabi atau guru palsu. Israel lebih sering jatuh ke dalam kekuasaan guru pembohong yang membujuk mereka daripada jatuh ke dalam tangan orang Filistin.

Perjanjian Baru menyaksikan problem yang sama dalam Gereja Kristen awal. Nabi palsu itu seperti gembala upahan yang hanya berminat kepada upahnya sendiri daripada kepada kesejahteraan domba-dombanya. Tidak semua bermaksud menyesatkan umat Allah, atau memimpin mereka untuk berbuat kesalahan atau kejahatan. Banyak yang melakukannya karena tidak tahu. Kita harus lari dari pemimpin-pemimpin yang tidak berpengetahuan dan tidak berpikir panjang.

Sebaliknya, salah satu berkat besar bagi Israel ialah waktu Allah mengutus kepada mereka nabi-nabi dan guru-guru yang mengajar mereka sesuai dengan pikiran Allah. Dengarlah peringatan yang sungguh-sungguh yang Tuhan sabdakan kepada nabi Yeremia:

“Aku telah mendengar apa yang dikatakan oleh para nabi, yang bernubuat palsu demi nama-Ku dengan mengatakan: Aku telah bermimpi, aku telah bermimpi! Sampai bilamana hal itu ada dalam hati para nabi yang bernubuat palsu dan yang menubuatkan tipu rekaan hatinya sendiri, yang merancang membuat umat-Ku melupakan nama-Ku dengan mimpi-mimpinya yang mereka ceritakan seorang kepada seorang, sama seperti nenek moyang mereka melupakan nama-Ku oleh karena Baal? Nabi yang beroleh mimpi, biarlah menceritakan mimpinya itu, dan nabi yang beroleh firman-Ku, biarlah menceritakan firman-Ku itu dengan benar! Apakah sangkut-paut jerami dengan gandum? demikianlah firman TUHAN. Bukankah firman-Ku seperti api, demikianlah firman TUHAN dan seperti palu yang menghancurkan bukit batu?” (Yer. 23:25- 29).

Dengan perkataan penghakiman seperti ini, tidak heran kalau Perjanjian Baru mengingatkan, “Saudara-saudaraku, janganlah banyak orang di antara kamu mau menjadi guru; sebab kita tahu, bahwa sebagai guru kita akan dihakimi menurut ukuran yang lebih berat” (Yak. 3:1). Kita membutuhkan guru-guru yang memiliki pengetahuan sehat dan hatinya tidak melawan Firman Allah.

Pemahaman Alkitab pribadi adalah sarana anugerah yang sangat penting bagi orang Kristen. Itu adalah hak istimewa dan kewajiban kita semua. Dalam anugerah-Nya dan kebaikan-Nya kepada kita, Allah tidak saja menyediakan guru-guru yang berkarunia dalam gereja-Nya untuk menolong kita. Ia juga menyediakan Roh Kudus-Nya sendiri untuk menerangi Firman-Nya dan untuk menunjukkan penerapan-Nya kepada kehidupan kita. Allah memberkati pengajaran sehat dan studi yang rajin.

Sumber:

Sumber diambil dari:

Judul Buku : Kebenaran-kebenaran Dasar Iman Kristen
Judul Artikel :
Penulis : R.C. Sproul
Penerjemah :
Penerbit : Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang, 1997
Halaman : 26-39

Pemahaman Alkitab Pribadi dan Penafsiran Pribadi

Dua warisan yang kita peroleh dari gerakan Reformasi adalah prinsip penafsiran pribadi dan terjemahan Alkitab ke dalam bahasa setempat. Kedua prinsip tersebut bergandengan tangan dan baru diselesaikan setelah terjadi dua perdebatan sengit dan penganiayaan. Banyak orang menjadi martir dengan menjalani hukuman dibakar hidup-hidup (terutama di negeri Inggris) karena berani menerjemahkan Alkitab ke dalam mereka sendiri. Salah satu pencapaian Luther yang terbesar adalah terjemahan Alkitab ke dalam bahasa Jerman sehingga setiap orang yang melek huruf dapat membacanya sendiri.

Luther sendirilah yang meruncingkan persoalan penafsiran Alkitab secara pribadi pada abad ke-16. Di balik respons Bapak Reformasi itu terhadap penguasa-penguasa gereja dan negara di Majelis Worms, sebenarnya terdapat prinsip penafsiran pribadi.

Pada waktu Luther diminta untuk menarik kembali tulisan-tulisannya, ia menjawab, “Kecuali kalau saya diyakinkan oleh Kitab Suci atau oleh alasan yang nyata, saya tidak dapat menarik diri. Karena hati nurani saya ditawan oleh Firman Allah, maka tidak benar dan tidak aman melawan hati nurani itu. Di sini saya berdiri. Saya tidak dapat berbuat lain. Allah menolong saya.” Perhatikan, Luther berkata, “kecuali kalau saya diyakinkan…” Pada perdebatan-perdebatan yang lebih awal di Leipzig dan Augsburg, Luther telah berani menafsir Alkitab berlawanan dengan interpretasi-interpretasi atau penafsiran-penafsiran Paus dan majelis-mejelis gereja. Begitu beraninya ia, sehingga dituduh congkak oleh pejabat-pejabat gereja. Luther tidak menganggap enteng tuduhan-tuduhan itu, melainkan menderita sekali karena mereka. Ia berpendapat ia dapat saja salah, namun ia juga bersikeras mengatakan bahwa Paus dan majelis-majelis juga bisa salah. Bagi dia hanya satu saja sumber kebenaran yang bebas dari salah. Ia berkata, “Alkitab tidak pernah salah.” Jadi, kecuali jika pemimpin-pemimpin gereja dapat menyakinkan dia mengenai kesalahannya, ia merasa diikat oleh kewajiban untuk mengikuti apa yang hati nuraninya diyakinkan oleh ajaran Alkitab. Melalui perdebatan ini lahirlah konsep penafsiran pribadi, yang langsung dibaptis oleh api.

Setelah deklarasi Luther yang berani dan menyusul karyanya menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Jerman di Wartburg, Gereja Roma Katolik tidak tergelimpang mati. Gereja itu memobilisasikan kekuatannya untuk serangan balasan seolah-olah dengan tombak berujung tiga. Serangan balasan ini dikenal sebagai “Counter Reformation.” Salah satu ujung tombak yang ditikamkan adalah seperangkat formulasi melawan Protestanisme oleh Konsili Trent. Trent berbicara melawan banyak pokok bahasan yang dikemukakan oleh Luther dan tokoh-tokoh Reformasi lainnya. Di antara pokok-pokok bahasan itu ada yang mengenai penafsiran. Trent berkata;

Untuk mengekang semangat-semangat liar, Konsili Trent menetapkan bahwa tidak ada seorang pun diperbolehkan menafsirkan secara pribadi persoalan-persoalan iman dan moral yang berhubungan dengan pembangunan doktrin Kristen. Itu berarti membengkokkan Kitab Suci menurut pemikirannya sendiri dan berani melawan penafsiran Gereja Induk Suci (Katolik Roma). Hak menafsirkan makna Kitab Suci yang sebenarnya ada pada Gereja Induk Suci, meskipun penafsiran itu berlawanan dengan pengajaran yang telah disepakati bersama oleh Bapak-bapak gereja. Tidak seorang pun boleh menafsirkan Kitab Suci secara pribadi meskipun tafsirannya itu tidak untuk diterbitkan.

Pernyataan itu antara lain berkata bahwa Gereja Katolik Romalah yang berkewajiban menguraikan dan menyatakan makna Alkitab serta mengajarkannya. Pernyataan Trent ini jelas dirancang untuk melawan prinsip penafsiran pribadi pihak Reformasi.

Namun jika kita memeriksa pernyataan di atas lebih teliti, kita dapat melihat salah pengertian yang serius tentang prinsip Reformasi. Apakah tokoh-tokoh Reformasi mengembangkan ide penafsiran liar? Apakah penafsiran pribadi berarti bahwa setiap orang berhak menafsirkan Alkitab sesuka hatinya, menuruti apa yang cocok dengan dirinya sendiri? Bolehkah orang menafsirkan Alkitab dengan cara tidak keruan, tidak konsisten, tanpa kendali? Apakah setiap pribadi harus menghargai penafsiran-penafsiran orang lain, misalnya yang berspesialisasi dalam mengajar Alkitab? Jawaban-jawaban pertanyaan-pertanyaan tersebut jelas. Tokoh-tokoh Reformasi juga berprihatin terhadap cara-cara dan sarana-sarana untuk mengekang semangat-semangat liar. Ini jugalah salah satu alasan mengapa mereka bekerja giat untuk menjelaskan prinsip-prinsip sehat penafsiran Alkitab sebagai pengekangan dan keseimbangan menghadapi penafsiran yang fantastis. Tetapi cara mereka berusaha mengekang semangat-semangat liar bukanlah dengan menyatakan bahwa pengajaran-pengajaran pemimpin-pemimpin gereja tidak bisa salah.

Mungkin istilah yang paling penting yang muncul dalam deklarasi Trent tersebut ialah kata membengkokkan. Trent mengatakan bahwa tidak seorang pun memiliki hak pribadi untuk membengkokkan Alkitab. Para Reformasi dengan sebulat hati menyetujuinya. Penafsiran pribadi tidak pernah dimaksudkan agar setiap pribadi berhak membengkokkan Alkitab. Bersama dengan hak penafsiran pribadi adalah tanggung jawab yang penuh kesadaran untuk penafsiran akurat. Penafsiran pribadi memberikan izin menafsir tapi tidak memberikan izin membengkokkan Alkitab.

Jika kita melihat kembali pada zaman Reformasi beserta dengan respons kejam pihak Inkuisisi (suatu badan milik Gereja Katolik Roma di abad ke-13 untuk menyelidiki dan menghukum bidat-bidat) dan penganiayaan-penganiayaan terhadap orang-orang yang mengalihbahasakan Alkitab, kita menjadi ngeri. Kita heran bagaimana para pemimpin Gereja Katolik Roma dapat begitu jahat menyiksa orang-orang karena membaca Alkitab. Namun apa yang sering tidak dilihat dalam perenungan historis seperti itu adalah itikad baik orang-orang yang terlibat dalam tindakan tersebut. Roma yakin bahwa jikalau Alkitab diletakkan di tangan kaum awam yang tidak berpendidikan teologi dan membiarkan mereka menafsir Alkitab, maka pembengkokan-pembengkokan atau penyimpangan-penyimpangan besar akan terjadi. Hal ini akan menyesatkan domba-domba, mungkin juga akan membawa mereka ke neraka kekal. Jadi untuk melindungi domba-domba supaya jangan memasuki jalan yang membawa kepada pemusnahan diri pada akhirnya, Gereja menempuh cara hukuman badan, bahkan sampai kepada hukuman mati.

Luther menyadari bahaya-bahaya gerakan Alkitab di tangan awam, tapi yakin tentang kejelasan Alkitab. Jadi meskipun bahaya penyimpangan besar, ia berpendapat bahwa faedah memperlihatkan berita dasar Injil yang jelas kepada orang banyak akan pada akhirnya lebih banyak membawa orang kepada keselamatan daripada kepada kebinasaan. Luther bersedia mengambil resiko mendobrak pintu air yang akan mengakibatkan banjir kesalahan.

Penafsiran pribadi membuka Alkitab untuk kaum awam, tapi tidak membuang prinsip pendidikan rohaniwan. Kembali kepada zaman-zaman Alkitab, para Reformasi mengakui bahwa dalam praktik dan pengajaran Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru ada kedudukan penting untuk para rabi (guru), ahli Taurat dan pelayanan di bidang pengajaran. Bahwa para guru harus ahli dalam bahasa-bahasa asli Alkitab, adat istiadat zaman Alkitab, sejarah suci dan analisis sastra, masih menjadi ciri penting gereja Kristen. Doktrin Luther yang terkenal, “imamat rajani” sering disalahfahami. Doktrin ini tidak berarti tidak ada perbedaan antara rohaniwan dan awam. Doktrin ini hanya menegaskan bahwa setiap orang Kristen harus berperan dan berfungsi untuk melangsungkan pelayanan gereja secara keseluruhan. Kita semua dipanggil untuk menjadi “Kristus bagi sesama kita” dalam pengertian tertentu. Namun ini tidak berarti bahwa gereja tidak memiliki gembala-gembala atau guru-guru.

Banyak orang telah dikecewakan oleh gereja yang terorganisasi di zaman kebudayaan masa kini. Sebagian di antara mereka bereaksi melampaui batas ke arah anarki gereja. Muncul dari revolusi budaya tahun 60-an dengan kedatangan “Jesus movement” (gerakan Yesus) dan gereja “bawah tanah” muncul pada slogan-slogan pemuda, “Saya tidak perlu mencari pendeta. Saya tidak mempercayai gereja yang terorganisasi ataupun pemerintahan tubuh Kristus yang berstruktur.” Di tangan orang-orang seperti itu prinsip penafsiran pribadi dapat menjadi izin untuk subjektivisme radikal.

OBJECTIVITAS DAN SUBJECTIVITAS

Bahaya penafsiran pribadi yang besar adalah bahasa subjectivisme dalam penafsiran Alkitab masa kini. Bahayanya lebih meluas daripada yang dapat kita lihat secara langsung. Saya telah melihat bahaya yang sulit dilihat oleh sembarang orang pada waktu saya ikut serta dalam diskusi dan perdebatan teologis.

Baru-baru ini saya ikut diskusi panel bersama dengan para ahli Alkitab. Kami sedang mendiskusikan pro dan kontra mengenai Perjanjian Baru tertentu yang makna dan penerapannya mengundang perdebatan. Dalam pernyataan pembukaannya, seorang ahli Perjanjian Baru berkata, “Saya berpendapat bahwa kita harus terbuka dan jujur mengenai bagaimana metode pendekatan kita terhadap Perjanjian Baru. Pada analisis terakhir kita akan membacanya seperti apa yang kita ingin baca. Itu tidak menjadi soal.” Hampir saya khawatir salah dengar. Saya begitu kaget sehingga tidak membantahnya. Keterkejutan saya bercampur dengan perasaan kesia-siaan dalam mengusahakan kemungkinan bertukar pendapat yang cukup berarti. Jarang sekali mendengar ahli yang menyatakan prasangkanya begitu terang-terangan di depan umum. Kita semua mungkin bergumul melawan kecenderungan yang berdosa melawan keinginan membaca Alkitab sesuai dengan keinginan kita, namun saya harap kita tidak selalu memakai cara itu. Saya percaya ada sarana-sarana yang tersedia bagi kita untuk mengekang kecenderungan itu.

Pada tingkat umum, kemudahan untuk menerima semangat subjectivisme penafsiran Alkitab ini juga sama lazimnya. Sering terjadi, setelah saya selesai membahas makna suatu pasal, orang mendebat pernyataan saya dengan mengatakan, “Ah, itu kan pendapatmu.” Komentar itu menunjukkan apa? Pertama, jelas sekali bagi semua orang yang hadir di situ bahwa tafsiran yang saya kemukakan adalah pendapat saya sendiri. Saya hanya seseorang yang baru saja mengemukakan pendapat. Tetapi bukan demikian pendapat orang lain.

Kedua, mungkin komentar itu menunjukkan perdebatan tanpa suara dengan memakai asosiasi yang salah. Dengan cara menunjuk bahwa pendapat yang saya kemukakan itu hanya pendapat saya sendiri, mungkin orang tersebut merasa bahwa itu saja yang diperlukan untuk mendebat, karena setiap orang beranggapan sama menganai saya meskipun tidak dikatakan, yaitu begini: apa saja pendapat yang ke luar dari mulut R.C. Sproul pasti salah karena ia tidak pernah dan tidak akan pernah betul. Betapapun bermusuhannya mereka terhadap pendapat-pendapat saya, saya tidak yakin bahwa itulah yang mereka maksudkan ketika mereka berkata, “Ah, itu kan pendapatmu.”

Saya kira alternatif yang paling mungkin dapat digambarkan dengan kata-kata ini, “Itu penafsiranmu yang baik untukmu saja. Saya tidak menyetujuinya, tetapi tafsiran saya sama absahnya. Meskipun tafsiran-tafsiran kita bertentangan, keduanya mungkin betul. Apa yang saya sukai itu betul bagi saya dan apa yang saya sukai itu betul bagimu.” Inilah subjektivisme.

Subjektivisme tidak sama dengan subjektivitas. Mengatakan bahwa kebenaran memiliki elemen subjektif, lain daripada mengatakan bahwa kebenaran itu sepenuhnya subjektif. Supaya kebenaran atau kepalsuan dapat bermakna untuk hidup saya, haruslah diterapkan kepada hidup saya dengan cara tertentu. Pernyataan, “Hujan turun di tempat itu” pada kenyataannya boleh benar secara objektif, tetapi tidak relevan dengan hidup saya. Saya baru dapat melihat relevansinya, misalnya, kalau ditunjukkan bahwa hujan itu begitu derasnya sehingga banjir dan merusakkan sawah ladang saya di dekat situ yang baru saja saya tanami. Baru waktu itu pernyataan itu mempunyai relevansi subjektif dengan hidup saya. Pada waktu kebenaran suatu proposisi memukul dan mencekam saya, barulah persoalannya menjadi subjektif. Penerapan teks Alkitab kepada kehidupan saya mungkin bernada sangat subjektif. Tapi ini bukan yang kita maksudkan dengan subjektivisme. Subjektivisme terjadi jikalau kita membengkokkan makna objektif istilah-istilah supaya cocok dengan minat-minat kita sendiri. Mengatakan, “Hujan turun di tempat itu” mungkin tidak berelevansi dengan hidup saya di sini, tetapi perkataan itu tetap bermakna. Perkataan itu bermakna bagi kehidupan manusia di sana, bagi tanaman-tanamannya dan binatang-binatangnya.

Subjektivisme terjadi apabila kebenaran suatu pernyataan tidak hanya diperluas atau diterapkan pada subjeknya, tetapi apabila kebenaran itu secara mutlak ditetapkan oleh subjeknya. Jika kita ingin menghindarkan diri dari pembengkokan atau penyimpangan Alkitab dari awal kita sudah harus menghindari subjektivisme.

Dalam usaha memahami Alkitab secara objektif, kita tidak dapat menciutkan Alkitab menjadi sesuatu yang dingin, abstrak dan mati. Yang harus kita lakukan adalah berusaha memahami apa yang dikatakan olehnya di dalam konteksnya sebelum kita melaksanakan tugas yang sama pentingnya, yaitu menerapkan pada diri kita sendiri. Suatu pernyataan tertentu boleh saja mempunyai kemungkinan adanya sejumlah penerapan-penerapan pribadi, tetapi pernyataan itu hanya dapat memiliki satu arti saja yang benar. Penafsiran-penafsiran yang berlain-lainan yang saling kontradiksi dan tidak dapat disatukan, tidak mungkin benar, kecuali kalau Allah berbicara dengan lidah bengkok. Kita akan membahas persoalan kontradiksi dan makna tunggal pernyataan-pernyataan secara lebih lengkap belakangan. Namun sekarang ini kita membahas penetapan sasaran-sasaran penafsiran Alkitab yang sehat. Sasaran pertama ialah kepada makna Alkitab yang objectif dan menghindari perangkap-perangkap pembengkokan yang disebabkan oleh membiarkan penafsiran-penafsiran dikuasai oleh subjektivisme.

Ahli-ahli Alkitab membuat perbedaan penting antara apa yang mereka sebut sebagai eksegesis dan eisogesis. Eksegesis berarti menerangkan apa yang dikatakan oleh Alkitab. Kata itu berasal dari kata Yunani yang berarti, “memimpin ke luar.” Kunci kepada eksegesis ada pada awalan “eks” yang berarti “dari” atau “ke luar dari”. Melakukan eksegesis kepada Alkitab berarti mengeluarkan makna yang terdapat pada kata-katanya, tanpa ditambahi dan tanpa dikurangi. Sebaliknya kata eisogesis berasal dari akar kata yang sama, tetapi dengan awalan yang berlainan. Awalan eis, juga berasal dari bahasa Yunani yang berarti “ke dalam”. Jadi, eisogesis menyangkut memasukkan ide sendiri ke dalam teks yang sebenarnya sama sekali tidak terdapat dalam kata-kata teks tersebut. Eksegesis adalah usaha yang objektif. Eisogesis menyangkut praktik subjektivisme.

Kita semua harus bergumul dengan problem subjektivisme. Alkitab sering mengatakan hal-hal yang tidak ingin kita dengar. Dalam hal ini kita dapat menutup telinga dan mata kita. Jauh lebih mudah dan jauh lebih tidak menyakitkan untuk tidak mengkritik Alkitab daripada dikritik oleh Alkitab. Tidak heran Yesus sering menutup pembicaraan-Nya dengan, “Siapa mempunyai telinga untuk mendengar, hendaklah ia mendengar!” (Luk. 8:8; 14:35).

Subjektivisme tidak saja menghasilkan kesalahan dan penyimpangan, tetapi juga kesombongan. Mempercayai apa yang saya percayai hanya karena saya mempercayainya, atau mempertahankan kebenaran pendapat saya hanya karena itu adalah pendapat saya, adalah contoh kesombongan. Jikalau pandangan-pandangan saya tidak dapat lulus ujian analisis subjektif dan pembuktian, kerendahan hati menuntut supaya saya meninggalkan pandangan itu. Seorang penganut subjektivisme memiliki kesombongan untuk mempertahankan pendapatnya tanpa dukungan atau bukti-bukti objektif. Perkataan, “jika kau ingin mempercayai apa yang kau percayai, baiklah. Saya akan ingin mempercayai apa yang saya percayai,” kedengarannya hanya rendah hati di kulit saja.

Pandangan-pandangan pribadi harus dinilai dengan bukti dan pendapat di luar karena kita cenderung membawa kelebihan bobot kepada Alkitab. Tidak ada seorang pun di bumi ini yang memiliki pengertian tentang Alkitab dengan sempurna. Kita semua berpegang pada pandangan-pandangan dan menyukai ide-ide yang bukan dari Allah. Mungkin jika kita tahu secara tepat pandangan-pandangan kita yang mana yang salah itu sulit. Jadi pandangan-pandangan kita memerlukan peralatan yang dapat mengeceknya, yaitu berupa riset dan keahlian orang-orang lain.

PERANAN GURU

Dalam gereja-gereja Reformed pada abad ke-16 diadakan perbedaan antara dua macam tua-tua: tua-tua pengajar dan tua-tua pengatur. Tua-tua pengatur dipanggil untuk memerintah dan mengurus persoalan-persoalan jemaat. Tua-tua pengajar, atau gembala-gembala, terutama bertanggung-jawab untuk mengajar dan melengkapi orang-orang suci untuk pelayanan.

Kira-kira dekade terakhir ini mengalami waktu yang luar biasa dalam pembaruan di banyak tempat. Organisasi-organisasi para gereja (organisasi-organisasi Kristen yang tidak dapat disebut gereja tetapi menjalankan aktivitas-aktivitas yang sejajar dengan gereja) telah berbuat banyak untuk memulihkan fungsi penting kaum awam bagi gereja lokal. Konperensi-konperensi pembaruan kaum awam sudah umum. Penekanannya tidak lagi pada pengkhotbah-pengkhotbah besar, tapi pada program-program besar untuk dan oleh kaum awam. Ini bukan zaman untuk pengkhotbah besar, tetapi zaman untuk jemaat besar.

Salah satu perkembangan penting gerakan pembaruan kaum awam ialah munculnya sejumlah kelompok pemahaman Alkitab kecil-kecil yang dilaksanakan di rumah-rumah tangga. Di sini suasana keakraban dan informalitas terasa. Orang-orang yang dengan cara lain di tempat lain tidak akan tertarik kepada Alkitab di sini maju dalam hal mempelajari Alkitab. Dinamika kelompok dalam bentuk kecil pada dasarnya merupakan kunci untuk membuka hati kaum awam. Kaum awam saling mengajar atau mengumpulkan ide-ide mereka sendiri dalam kelompok-kelompok pemahaman Alkitab seperti itu. Kelompok-kelompok seperti itu telah berhasil membarui gereja. Mereka akan lebih berhasil waktu mereka makin ahli memahami dan menafsir Alkitab. Bahwa orang mulai membuka Alkitab dan mempelajarinya bersama-sama adalah hal yang luar biasa besar. Tetapi ini juga sangat berbahaya. Mengumpulkan pengetahuan membangun gereja. Mengumpulkan ketidaktahuan merusak gereja dan menunjukkan problem orang buta memimpin orang buta.

Meskipun kelompok-kelompok kecil pemahaman Alkitab di rumah-rumah tangga dapat menjadi sarana sangat efektif untuk pembaruan gereja dan perubahan masyarakat, ada waktunya mereka harus menerima pengajaran sehat dari pihak yang dapat dipertanggungjawabkan. Saya tetap yakin bahwa gereja memerlukan rohaniwan yang telah terdidik. Studi pribadi dan interpretasi pribadi harus diimbangi oleh kebijaksanaan guru-guru secara kolektif. Jangan salah paham. Saya tidak memanggil gereja untuk kembali pada situasi pra-Reformasi waktu Alkitab ditawan oleh para rohaniwan. Saya bergembira melihat orang mulai mempelajari Alkitab secara berdikari. Dengan demikian darah para martir tidak percuma tumpah. Tapi saya ingin mengatakan bahwa orang awam itu bijaksana kalau mengadakan pemahaman Alkitab yang tidak lepas dari otoritas gembala-gembala atau guru-guru mereka. Kristus sendirilah mengaruniai gereja-Nya dengan karunia mengajar. Karunia itu dan jawatan itu harus dihormati kalau umat Kristus ingin menghormati Kristus.

Penting bagi para guru untuk mendapatkan pendidikan yang memadai. Sudah barang tentu kadang-kadang muncul guru-guru yang meskipun tidak mendapatkan pendidikan formal, namun memiliki wawasan ke dalam Alkitab yang luar biasa. Namun orang-orang seperti itu jarang sekali. Lebih sering kita menghadapi problem dari orang-orang yang mengaku dirinya guru tapi sama sekali tidak berkualitas mengajar. Seorang guru yang baik harus memiliki pengetahuan yang sehat dan keahlian-keahlian yang diperlukan untuk menguraikan bagian-bagian Alkitab yang sulit. Di sini diperlukan penguasaan bahasa asli, sejarah dan teologi, bahkan amat diperlukan.

Jika meneliti sejarah orang Yahudi zaman Perjanjian Lama, kita melihat bahwa ancaman yang paling keras dan terus menerus adalah ancaman dari pihak nabi atau guru palsu. Israel lebih sering jatuh ke dalam kekuasaan guru pembohong yang membujuk mereka daripada jatuh ke dalam tangan orang Filistin.

Perjanjian Baru menyaksikan problem yang sama dalam Gereja Kristen awal. Nabi palsu itu seperti gembala upahan yang hanya berminat kepada upahnya sendiri daripada kepada kesejahteraan domba-dombanya. Tidak semua bermaksud menyesatkan umat Allah, atau memimpin mereka untuk berbuat kesalahan atau kejahatan. Banyak yang melakukannya karena tidak tahu. Kita harus lari dari pemimpin-pemimpin yang tidak berpengetahuan dan tidak berpikir panjang.

Sebaliknya, salah satu berkat besar bagi Israel ialah waktu Allah mengutus kepada mereka nabi-nabi dan guru-guru yang mengajar mereka sesuai dengan pikiran Allah. Dengarlah peringatan yang sungguh-sungguh yang Tuhan sabdakan kepada nabi Yeremia:

“Aku telah mendengar apa yang dikatakan oleh para nabi, yang bernubuat palsu demi nama-Ku dengan mengatakan: Aku telah bermimpi, aku telah bermimpi! Sampai bilamana hal itu ada dalam hati para nabi yang bernubuat palsu dan yang menubuatkan tipu rekaan hatinya sendiri, yang merancang membuat umat-Ku melupakan nama-Ku dengan mimpi-mimpinya yang mereka ceritakan seorang kepada seorang, sama seperti nenek moyang mereka melupakan nama-Ku oleh karena Baal? Nabi yang beroleh mimpi, biarlah menceritakan mimpinya itu, dan nabi yang beroleh firman-Ku, biarlah menceritakan firman-Ku itu dengan benar! Apakah sangkut-paut jerami dengan gandum? demikianlah firman TUHAN. Bukankah firman-Ku seperti api, demikianlah firman TUHAN dan seperti palu yang menghancurkan bukit batu?” (Yer. 23:25- 29).

Dengan perkataan penghakiman seperti ini, tidak heran kalau Perjanjian Baru mengingatkan, “Saudara-saudaraku, janganlah banyak orang di antara kamu mau menjadi guru; sebab kita tahu, bahwa sebagai guru kita akan dihakimi menurut ukuran yang lebih berat” (Yak. 3:1). Kita membutuhkan guru-guru yang memiliki pengetahuan sehat dan hatinya tidak melawan Firman Allah.

Pemahaman Alkitab pribadi adalah sarana anugerah yang sangat penting bagi orang Kristen. Itu adalah hak istimewa dan kewajiban kita semua. Dalam anugerah-Nya dan kebaikan-Nya kepada kita, Allah tidak saja menyediakan guru-guru yang berkarunia dalam gereja-Nya untuk menolong kita. Ia juga menyediakan Roh Kudus-Nya sendiri untuk menerangi Firman-Nya dan untuk menunjukkan penerapan-Nya kepada kehidupan kita. Allah memberkati pengajaran sehat dan studi yang rajin.

Sumber:

Sumber diambil dari:

Judul Buku : Kebenaran-kebenaran Dasar Iman Kristen
Judul Artikel :
Penulis : R.C. Sproul
Penerjemah :
Penerbit : Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang, 1997
Halaman : 26-39

INTRODUKSI PADA IMAN REFORMED Oleh: John M. Frame

PENDAHULUAN

Ketika pertama kali saya datang ke Seminari Westminster sebagai mahasiswa (1961), sebagian besar mahasiswa berlatar belakang Reformed. Banyak mahasiswanya telah mendapatkan pengajaran di sekolah-sekolah dan universitas-universitas Calvinistis;(2) bahkan telah mempelajari katekismus dan pengakuan-pengakuan iman Reformed. Hari ini hal itu jarang ditemui. Semakin banyak mahasiswa yang datang ke Westminster berasal dari latar belakang non-Reformed, malahan ada yang baru mengalami pertobatan. Mereka yang berasal dari latar belakang Reformed pun tidak selalu mengetahui katekismus mereka dengan baik.

Banyak mahasiswa Westminster ketika baru pertama kali datang bahkan tidak mengerti dengan jelas posisi doktrin Westminster. Mereka tahu bahwa Westminster memegang kuat pandangan otoritas Alkitab dan ineransi; mereka tahu bahwa Westminster berpegang pada doktrin-doktrin fundamental kekristenan evangelikal. Mereka juga tahu bahwa kami menjelaskan dan memertahankan doktrin-doktrin ini secara kesarjanaan yang superior. Namun, kadang-kadang tidak semua menyadari kenyataan bahwa Westminster adalah sebuah institusi pengakuan iman, yang menganut tradisi doktrinal historis tertentu, yaitu iman Reformed.

Saya sangat bergembira semua murid ini ada di sini! Saya sangat senang karena Westminster menarik murid-murid yang berasal jauh di luar lingkaran pengakuan iman normal kami. Tetapi kehadiran mereka mengharuskan adanya beberapa pengajaran yang sangat mendasar mengenai posisi doktrin seminari ini. Memperkenalkan para mahasiswa pada iman Reformed sedini mungkin di awal karier mereka di seminari merupakan hal yang esensial. Iman Reformed itu yang memberikan energi dan mengarahkan semua pengajaran di sini. Murid-murid harus siap untuk itu. Untuk kepentingan itulah esai ini ditulis.

Saya juga memiliki alasan lain untuk menulis introduksi ini. Ketika Saudara memulai studi di seminari, Saudara akan melihat bahwa ada berbagai variasi di dalam tradisi Reformed secara umum. Saudara akan belajar tentang “hyper-Calvinism”, “theonomy”, “antinomianism”, “presuppositionalism”, “evidentialism”, “perspectivalism”, “traditionalism”, dan lain-lain. Beraneka ragam nama yang dipakai untuk menyebut diri kita sendiri dan untuk menyebut orang lain. Bukan hal yang selalu mudah untuk menentukan siapa yang “Reformed sejati” dan siapa yang bukan, atau yang lebih penting lagi, siapa yang “benar- benar alkitabiah”. Dalam tulisan ini, paling sedikit, saya ingin memerlihatkan kepada Saudara di mana saya berpijak dalam tradisi Reformed dan memberikan sedikit bimbingan serta menolong Saudara untuk menemukan arah melewati keragaman ini.

Tulisan ini hanyalah suatu “introduksi” kepada iman Reformed, jadi bukan merupakan suatu analisis yang mendalam. Namun, jelas tetap bermanfaat untuk mengetahui gambaran sekilas pada saat awal studi Saudara. Bersama-sama dengan tulisan ini, saya mengharapkan Saudara membaca Pengakuan Iman Westminster, Larger dan Shorter Catechism, serta “tiga bentuk kesatuan” dari gereja-gereja Reformed di benua Eropa: Pengakuan Iman Belgia, Katekismus Heidelberg, serta Kanon-kanon Dordt. Semua itu merupakan ringkasan yang indah dari posisi doktrin Reformed, yang disajikan secara utuh, ringkas, dan tepat. Heidelberg adalah salah satu karya devosional yang agung di sepanjang masa. Saya juga percaya ada banyak manfaat yang bisa didapatkan dari pembukaan ringkasan teologi Reformed karya Cornelius Van Til, “The Defense of the Faith”.(3)

Sebelum saya sampai pada hal-hal doktrinal yang substansif, izinkan saya untuk mengajukan pertanyaan: “Mengapa kita harus berpegang pada pengakuan apa pun, selain Alkitab?” Ini merupakan pertanyaan yang baik. Di dalam hati, saya berharap tidak perlu ada kredo atau ada denominasi-denominasi yang berpegang pada kredo itu. Denominasi- denominasi pada tahap tertentu, selalu akibat dari dosa perpecahan.(4) Saya berharap ketika seseorang bertanya tentang afiliasi religius saya, dengan sederhana saya dapat berkata, “Kristen.” Dan ketika seseorang menanyakan keyakinan agama saya, saya dapat dengan sederhana berkata, “Alkitab.”

Sayangnya, jawaban-jawaban sederhana seperti itu tidak cukup lagi. Bermacam-macam orang mengaku Kristen pada hari ini, bahkan mereka yang percaya Alkitab, namun sebenarnya jauh dari kerajaan Kristus. Di antaranya kaum liberal, penganut bidat, dan penganut sinkretis zaman baru. Ketika kita mengunjungi tetangga kita dan mengajaknya ke gereja, dia berhak untuk mengetahui apa yang kita percayai. Jika Saudara mengatakan bahwa Saudara adalah seorang Kristen dan percaya Alkitab, dia berhak untuk bertanya lebih lanjut, “Menurut Saudara, (dan gereja Saudara) apa yang mereka ajarkan tentang Alkitab?” Itu merupakan pertanyaan di mana kredo dan pengakuan iman dirancang untuk menjawabnya. Sebuah kredo hanyalah suatu ringkasan kepercayaan dari seseorang atau dari sebuah gereja terhadap apa yang diajarkan Alkitab. Dan tentu saja, tidak ada yang keberatan untuk menulis ringkasan seperti itu bagi kenyamanan anggota-anggota gereja dan orang-orang yang membutuhkannya.

Pengakuan iman bukan Kitab Suci, dan mereka tidak seharusnya diperlakukan sebagai normatif yang tanpa salah dan tertinggi. Tentu saja, saya percaya bahwa sangat penting bagi sebuah persekutuan gereja dimungkinkan untuk merevisi pengakuan iman, dan untuk tujuan tersebut, dimungkinkan juga bagi para jemaat dan para pejabat gereja untuk tidak sepaham dengan pengakuan iman tersebut sampai batas-batas tertentu. Kalau tidak, itu berarti pengakuan iman secara praktis dapat dikatakan, otoritasnya diangkat pada posisi setara dengan Kitab Suci. Pandangan “ketat” yang menyatakan bahwa para pendeta tidak pernah diizinkan untuk mengajar sesuatu yang bertentangan dengan rincian yang ada di dalam kredo harus dilihat sebagai cara untuk melindungi ortodoksi dari gereja itu. Namun, menurut pandangan saya, pandangan semacam itu sebenarnya menentang ortodoksi, yaitu menentang otoritas Alkitab dan kecukupan Alkitab. Dalam pandangan semacam itu, maka Kitab Suci tidak diberi kebebasan untuk mereformasi gereja sesuai dengan kehendak Allah.

Namun kredo-kredo itu sendiri sebenarnya sah, bukan hanya bagi gereja- gereja dan individu-individu, melainkan juga bagi seminari-seminari. Seminari-seminari perlu juga untuk dapat memberitahukan kepada para pendukung, para mahasiswa, dan para calon mahasiswa tentang doktrin macam apa yang diajarkan dalam kurikulum seminari.

Iman Reformed merupakan penemuan yang indah bagi banyak orang Kristen. Saya mendengar banyak orang menyaksikan bahwa pada saat mereka mulai mempelajari teologi Reformed, mereka melihat untuk pertama kali bahwa Alkitab benar-benar dapat dipahami. Dalam bentuk teologi yang lain, ada banyak eksegesis yang artifisial: pemilahan ayat-ayat yang tidak bisa dipercaya, merasionalisasi “bagian-bagian yang sukar”, memasukkan skema di luar Kitab Suci atas, teks Alkitab. Teologi Reformed memperlakukan Kitab Suci secara natural, sebagaimana para penulis (manusia dan Allah) maksudkan dengan jelas dalam ayat itu. Tentu saja ada kesulitan-kesulitan di dalam sistem Reformed sebagaimana yang ada pada lainnya. Tetapi banyak orang, pada saat mereka mulai membaca Alkitab di bawah pengajaran Reformed, mengalami peningkatan yang besar dalam pemahaman dan keyakinan. Firman Tuhan berbicara pada mereka dalam kuasa yang lebih besar dan memberikan mereka suatu motivasi yang lebih besar pada kekudusan.

Seminari Westminster tidak menuntut mahasiswa mereka untuk memiliki keyakinan Reformed sewaktu mereka mendaftar atau sewaktu mereka lulus. Jadi, mereka harus memutuskan sendiri. Tetapi dari pengalaman saya, terlihat bahwa para mahasiswa Westminster dari latar belakang non- Reformed yang terbuka pada pendekatan Reformed, pada umumnya mereka akhirnya memeluk pandangan itu. Sepanjang 35 tahun saya bergabung dengan Westminster, saya dapat menghitung dengan jari jumlah mahasiswa yang sepengetahuan saya telah lulus dengan berpegang pada posisi Arminian. Hal itu bukan disebabkan karena sekolah menekan para mahasiwa untuk menyetujui posisi doktrinal dari sekolah. Kebanyakan dari para dosen berusaha untuk menghindari melakukan hal itu. Para dosen berusaha untuk memberikan kepada mahasiswa kemungkinan sebesar mungkin untuk mengekspos diri mereka pada teologi Reformed dan untuk membandingkannya dengan teologi non-Reformed. Pada waktu mereka selesai mempelajarinya, saya percaya mereka akan bersukacita sebagaimana halnya dengan kami menerima iman Reformed.

Apakah iman Reformed itu? Berikut ini argumen saya, bahwa: (1) iman Reformed adalah evangelikal; (2) iman Reformed adalah predestinarian; dan (3) iman Reformed mengajarkan kovenan ketuhanan Yesus Kristus secara komprehensif.

IMAN REFORMED ADALAH EVANGELIKAL

Sering kali, sulit bagi orang Kristen Protestan yang percaya pada Alkitab untuk mengetahui mereka harus menyebut diri mereka apa. Kata “Kristen” itu sendiri dan pernyataan “orang Kristen yang percaya Alkitab”, bisa juga kabur, bahkan menyesatkan (lihat pembahasan sebelumnya). “Ortodoksi” memberikan kesan tentang para imam yang berjanggut. “Konservatif” berbunyi seperti suatu posisi politikus atau seorang yang temperamental dibanding dengan suatu keyakinan religius. “Fundamentalis” pada hari ini memiliki konotasi yang tidak menyenangkan, yaitu dianggap sebagai antiintelektualisme, meskipun pada masa lampau fundamentalis diaplikasikan pada sarjana-sarjana Kristen yang sangat agung.

Saya pikir istilah yang paling baik untuk menjelaskan orang Kristen Protestan yang percaya pada Alkitab adalah istilah “evangelikal”, meskipun istilah itu telah menjadi rancu sepanjang sejarah. Istilah itu digunakan oleh para reformator Lutheran untuk mengindikasikan karakter dari gerakan itu, dan sampai sekarang di benua Eropa, kata “evangelikal” kurang lebih bersinonim dengan “Lutheran”. Namun, di dunia yang berbahasa Inggris, kebanyakan penggunaan istilah “evangelikal” dikaitkan dengan kebangunan rohani dari “kebangkitan evangelikal” di abad delapan belas di bawah pengkhotbah John Wesley, George Whitefield, dan yang lainnya. Teologi Wesley adalah Arminian, sedangkan teologi Whitefield adalah Calvinis; jadi gerakan evangelikal itu sendiri memiliki unsur-unsur Arminian dan Calvinistis. Banyak denominasi-denominasi di dunia yang berbahasa Inggris sangat dipengaruhi oleh gerakan ini.

Pada abad kesembilan belas, banyak denominasi yang tadinya dipengaruhi oleh gerakan evangelikal telah menjadi liberal. Bukan merupakan hal yang aneh untuk mendengar orang liberal seperti Charles Brigg menyebut dirinya sebagai “evangelikal”; “evangelikal liberal” pada waktu itu tidak dianggap kontradiksi. Orang masih mendengar istilah itu dalam referensi pada istilah teologis Inggris, meskipun penggunaannya tidak konsisten pada poin itu. Tetapi di Amerika, istilah itu sejak Perang Dunia II telah secara umum dibatasi secara teologi pada posisi konservatif. Setelah perang itu, sejumlah orang Kristen konservatif tiba pada konklusi bahwa “fundamentalisme” merupakan suatu konsep yang negatif dan mereka mengadopsi istilah “Evangelikal” sebagai suatu deskripsi yang menjelaskan dirinya sendiri, kebalikan dari penggunaan pada abad kedelapan belas. Di antara mereka adalah Carl F. H. Henry, Harold John Ockenga, dan J. Howard Pew penganut teologi Calvinistis; yang lainnya bukan penganut teologi Calvinistis. Jadi, “Evangelikal” menjadi sebuah payung yang menaungi orang-orang Kristen Reformed dan non-Reformed, yang menganut pandangan yang tinggi terhadap Kitab Suci dan penganut dari “iman yang fundamental”.

Tidak semua orang Reformed telah bersedia untuk menerima sebutan “Evangelikal”. Di satu sisi, orang Reformed kadang-kadang ada yang tidak menyetujui kebangunan rohani, meskipun sebagian pengkhotbah kebangunan rohani seperti Whitefield adalah Reformed. Jadi, sebagian orang Reformed telah enggan untuk menerima suatu sebutan yang muncul dalam konteks kebangunan rohani. Di sisi lain, karena banyak orang Reformed tidak mau bergabung dengan Arminian yang memiliki sebutan yang sama, karena kepercayaan bahwa ada perbedaan yang besar secara teologis. Jadi, bagi sebagian Calvinis, termasuk Cornelius Van Til,(5) “Evangelikal” berarti “Protestan yang non-Reformed”.

Saya menolak penggunaan ini, terlepas dari pendapat yang diberikan oleh mentor saya, Van Til. Penggunaan yang diberikan oleh Van Til tidak historis, karena secara historis kata “Evangelikal” mencakup Calvinis. Lebih penting lagi, bagi saya kelihatannya kita memang membutuhkan istilah untuk menyatukan orang-orang Protestan yang percaya Alkitab, dan sebutan yang cocok untuk tujuan itu hanyalah “Evangelikal”.(6)

Menurut pandangan saya, kaum Reformed dan kaum Evangelikal disatukan atas dasar banyak poin doktrinal yang signifikan, bisa diargumentasikan bahwa keduanya disatukan atas dasar yang paling penting. Jadi, saya tetap menyatakan bahwa iman Reformed adalah Evangelikal.

Apakah kepercayaan utama dari teologi Evangelikal? Seorang Evangelikal, berdasarkan definisi saya, adalah seseorang yang mengakui teologi Protestan Historis. Hal itu mencakup kepercayaan-kepercayaan berikut ini:

  1. Allah adalah satu Pribadi, yang maha bijak, adil, baik, benar dan berkuasa, realitas terakhir, berhak disembah secara eksklusif, dan ditaati tanpa perlu dipertanyakan, yang telah menciptakan dunia ini dari yang tidak ada menjadi ada.
  2. Manusia, diciptakan menurut gambar Allah, berdasarkan kehendaknya tidak menaati perintah Allah, dan karena itu layak mendapatkan upah maut. Sejak saat itu, semua umat manusia, kecuali Yesus Kristus, telah berdosa terhadap Allah.
  3. Yesus Kristus, Putra Allah yang kekal, menjadi manusia. Ia (secara harfiah, sesungguhnya) lahir dari seorang dara. Ia melakukan mukjizat-mukjizat. Ia menggenapi nubuat. Ia menderita dan mati bagi dosa kita, menanggung kesalahan dan hukum dari dosa kita. Ia dibangkitkan secara fisik dari kematian. Ia akan datang kembali (secara harfiah, secara fisik) untuk mengumpulkan umat-Nya dan untuk menghakimi dunia.
  4. Keselamatan dari dosa datang bagi kita bukan atas dasar perbuatan baik kita, melainkan melalui penerimaan karunia yang cuma-cuma dari Allah melalui iman. Iman yang menyelamatkan menerima pengorbanan Kristus sebagai pengorbanan kita, sebagai satu-satunya dasar dari persekutuan kita dengan Allah. Iman yang menyelamatkan semacam itu tanpa disangkali telah memotivasi kita pada ketaatan.
  5. Kitab Suci adalah firman Allah yang membuat kita bijak dalam keselamatan.
  6. Doa bukan hanya sekadar meditasi atau pengembangan diri, melainkan suatu percakapan yang tulus dengan Pencipta dan Penebus kita. Di dalam doa kita memuji Allah, mengucap syukur, memohon pengampunan, dan membuat permohonan yang membawa perubahan konkret dalam dunia.

Pernyataan-pernyataan ini dapat disebut “hal-hal yang fundamental dari iman”. Mereka merepresentasikan pusat dari injil biblikal, dan di atas injil ini, kaum Reformed disatukan dengan semua kaum Evangelikal. Saya terluka pada waktu mendengar kaum Reformed mengatakan bahwa “kami tidak memiliki hal yang sama dengan Arminian.” Sebenarnya, kita memiliki injil biblikal yang sama dengan mereka, dan itu hal yang besar. Saya pasti berargumen bahwa teologi Arminian tidak konsisten dengan injil itu. Tetapi saya tidak dapat meragukan bahwa kebanyakan dari mereka percaya injil itu dari hati mereka.

Berdasarkan pemahaman ini, kaum Reformed ini tidak hanya berdiri dengan saudara-saudari Arminian mereka di dalam mengakui kebenaran biblikal, tetapi mereka juga bersama-sama melawan kekorupan yang sama dari iman. Kita berdiri bersama semua kaum Evangelikal melawan humanisme sekuler, bidat, gerakan Zaman Baru, dan tradisi liberal dalam teologi. “Liberal” yang saya maksudkan di sini adalah jenis teologi apa pun yang menyangkali hal-hal “fundamental” yang mana pun. Dalam pengertian ini, saya mencakupkan sebagai yang “liberal” bukan hanya kaum modern pada zaman J. Gresham Macken,(7) termasuk juga tradisi neo-ortodoksi (Barth dan Brunner, kaum “modernis yang baru” menurut Van Til), dan gerakan terkini seperti teologi pembebasan, teologi proses, dan teologi pluralis. Gerakan yang lebih terkini sering dikontraskan dengan liberalisme, tetapi seperti yang saya percaya, kita butuh satu istilah untuk menjelaskan semua orang Protestan yang percaya pada Alkitab, demikian pula saya percaya kita butuh satu istilah untuk menjelaskan orang-orang yang mengaku Kristen, yang menyangkali satu atau lebih dari yang fundamental; dan “liberalisme” merupakan istilah yang terbaik untuk tujuan itu.

Saya akan meringkaskan beberapa rumusan yang biasanya ada dalam tradisi liberal dalam kategori yang diselaraskan dengan pernyataan- pernyataan 1 — 6 di atas.

  1. Allah adalah “melampaui personalitas”, “melampaui yang baik dan yang jahat”, tidak menuntut ketaatan, menghukum dosa, atau menjawab doa.
  2. Dosa bukan merupakan ketidaktaatan pada suatu hukum eksternal bagi manusia, melainkan keterasingan dari yang lain dan dari kemanusiaan yang sejati orang itu.
  3. Yesus hanya seorang laki-laki yang dengan berbagai cara dikaitkan dengan Allah. Mukjizat yang harfiah dan kebangkitan adalah tidak mungkin, tetapi mereka adalah lambang dari suatu realitas yang lebih tinggi.
  4. Keselamatan bukan berasal dari pengorbanan Kristus yang bersifat substitusi, atau melalui iman kepada Kristus sebagai cara keselamatan yang eksklusif. Semua yang diselamatkan atau “orang yang selamat” adalah mereka yang mengikuti berbagai etika dan program-program politik.
  5. Kitab Suci merupakan tulisan manusia, bisa keliru dan cenderung pada kekeliruan, yang dengan cara bagaimana mengomunikasikan berita ilahi.
  6. Doa pada dasarnya penghormatan pada diri sendiri.

Sebagaimana yang kita lihat, injil Evangelikal sangat berbeda dengan penyangkalan liberal akan injil itu. Oleh karena itu, sangatlah penting bagi kita untuk memiliki posisi yang jelas dalam hal ini. Saya secara khusus mendorong mereka yang mulai belajar teologi untuk memerhatikan isu ini secara pribadi. Ini adalah waktu di mana Saudara harus jelas tentang relasi Saudara dengan Allah. Apakah Saudara percaya bahwa Allah yang dinyatakan di Kitab Suci ada? Dan bahwa Ia adalah Tuhan yang agung dari langit dan bumi? Apakah Saudara percaya bahwa Saudara secara pribadi berdosa dan Saudara hanya layak untuk mendapatkan murka-Nya dan hukuman yang kekal? Apakah Saudara percaya berdasarkan perbuatan Saudara sendiri (termasuk di antaranya kehadiran di gereja, pelayanan Kristen, benar secara intelektual) dapat menyelamatkan Saudara, atau hanya di dalam kebenaran yang sempurna dari Kristus?

Apabila Saudara tidak pernah menjawab pertanyaan sejenis ini, saya mendorong Saudara demi Kristus untuk menjawabnya sekarang! Tidak semua orang yang masuk seminari adalah orang percaya dalam pengertian semacam ini. Adalah mudah untuk menipu diri sendiri pada waktu Saudara telah melalui kehidupan Kristen. Semasa Saudara belajar di seminari, kembali ke dasar dengan cara ini makin lama akan makin sulit. Pada saat Saudara menjadi ahli teologi, Saudara bisa menjadi bangga atas pencapaian Saudara, dan karena itu Saudara tidak sabar terhadap siapa pun yang menyatakan bahwa Saudara butuh menjadi seperti anak kecil dan menaruh seluruh kepercayaan Saudara pada hikmat orang lain. “Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri.” (Efesus 2:8-9)

IMAN REFORMED ADALAH PREDESTINARIAN

Istilah “Reformed” untuk alasan tertentu pada mulanya dikaitkan dengan cabang Reformasi dari Swiss (Zwingli, Bucer, Bullinger, Calvin), dan kemudian menjadi sinonim dengan “Calvinis”. Pengajaran yang paling kontroversial dari orang-orang ini adalah doktrin predestinasi mereka. Doktrin ini sering kali dilihat sebagai perbedaan yang utama dari pengajaran Reformed dengan bentuk-bentuk evangelikalisme lainnya. Pada tahun 1618 — 1619, di sebuah pertemuan sidang sinode Reformed di Dordrecht (atau Dort) di Belanda, dipresentasikan lima “poin” ringkasan dari pengajaran Jacob Arminius (“Arminianisme”). Sebagai oposisi terhadap kelima poin itu, sinode mengadopsi apa yang disebut dengan “lima poin Calvinisme”, yang merupakan ringkasan doktrin predestinasi. Poin-poin ini dikenal dengan inisial dari bunga Belanda yang indah, yaitu TULIP: Total Depravity, Unconditional Election, Limited Atonement, Irresistible Grace, Preseverance of the Saints.

Kita tidak boleh melihat kelima poin ini sebagai ringkasan dari sistem doktrin dari Reformed. Di Dort, kelima topik itu dibahas berdasarkan pilihan kaum Arminian, bukan kaum Calvinis. Kelima poin itu sebenarnya merupakan suatu ringkasan dari “apa yang tidak disukai oleh kaum Arminian tentang Calvinisme”, bukan merupakan ringkasan dari Calvinisme itu sendiri. Poin-poin itu bukan meringkas Calvinisme, melainkan aspek-aspek kontroversial dari Calvinisme. Saya pikir apabila sidang itu diminta untuk memberikan ringkasan iman Reformed yang sebenarnya, maka mereka akan menyusunnya secara berbeda, yaitu lebih seperti “Pengakuan-pengakuan Belgic dan Westminster”.

Poin kontroversial tidak harus merupakan keprihatinan fundamental dari suatu sistem. Sehubungan dengan iman Reformed, sistem doktrinalnya lebih dari lima poin; iman Reformed merupakan pemahaman yang komprehensif dari Kitab Suci, jadi merupakan suatu pandangan komprehensif dari wawasan dunia dan wawasan kehidupan. Namun demikian, sekarang saya akan secara singkat membahas “kelima poin” itu. Meskipun sentralitas “kelima poin” ini bisa berlebihan, namun mereka tentu saja penting dan sering disalah mengerti.

  1. Total Depravity Meskipun orang yang sudah jatuh dalam dosa mampu secara eksternal melakukan perbuatan baik (perbuatan yang baik menurut masyarakat), mereka tidak dapat melakukan apa pun yang sesungguhnya baik, misalnya memerkenankan Allah (Roma 8:8). Allah melihat hati. Berdasarkan sudut pandang-Nya, orang yang sudah jatuh dalam dosa tidak memiliki kebaikan, dalam pikiran, perkataan, atau perbuatan. Oleh karena itu, ia tidak mampu memberikan sumbangsih apa pun pada keselamatannya.
  2. Unconditional Election Oleh karena itu, pada saat Allah memilih manusia untuk diselamatkan, Ia tidak memilih mereka berdasarkan apa pun yang ada pada diri mereka. Ia tidak memilih mereka karena kebaikan mereka sendiri, atau bahkan karena Allah mengetahui sebelumnya bahwa mereka akan percaya, melainkan hanya karena kemurahan-Nya semata-mata, yaitu berdasarkan anugerah (Efesus 2:8-9).
  3. Limited Atonement Poin ini merupakan poin yang paling kontroversial dari kelima poin, karena Alkitab kelihatannya mengajarkan bahwa Kristus mati untuk setiap orang. Lihat contohnya, 2 Korintus 5:15, 1 Timotius 4:10, 1 Yohanes 2:2. Ada dimensi “universal” dari penebusan: (a) penebusan untuk semua bangsa; (b) hal itu suatu penciptaan baru dari seluruh umat manusia; (c) hal itu ditawarkan secara universal; (d) hal itu satu-satunya cara bagi setiap orang untuk diselamatkan dan karena itu satu-satunya keselamatan untuk semua orang; (e) nilainya cukup untuk semua. Namun demikian, Kristus bukan merupakan substitusi untuk dosa-dosa dari setiap orang; kalau demikian halnya, maka setiap orang akan diselamatkan. Oleh karena penebusan Kristus berkuasa dan efektif. Penebusan Kristus bukan hanya sekadar membuat keselamatan menjadi mungkin; melainkan penebusan itu benar-benar menyelamatkan. Pada waktu Kristus “mati untuk” seseorang, orang itu pasti diselamatkan. Salah satu “teks penebusan universal” adalah 2 Korintus 5:15, di mana hal itu dinyatakan dengan jelas. Jadi, Ia mati hanya bagi efektivitas dari penebusan pada “limitasi”nya; mungkin kita harus menyebutnya “penebusan yang efektif” daripada “penebusan terbatas”, dan itu akan mengubah singkatan TULIP menjadi TUEIP. Tetapi tentu saja efektivitas mengimplikasikan limitasi, jadi limitasi adalah sebuah aspek yang penting dari doktrin ini.
  4. Irresistible Grace Anugerah bukan seperti satu atau dua permen yang dapat Saudara kembalikan apabila Saudara tidak menghendakinya. Anugerah adalah kemurahan Allah, suatu sikap dari hati Allah sendiri. Kita tidak dapat menghentikan Dia untuk mengasihi kita apabila Ia memilih untuk melakukannya. Demikian pula kita tidak dapat menghentikan Dia dari memberikan kita berkat keselamatan: regenerasi, justifikasi, adopsi, pengudusan, serta glorifikasi. Tujuan-Nya di dalam diri kita akan pasti digenapi (Filipi 1:6, Efesus 1:11).
  5. Perseverance of the Saints Apabila Saudara dilahirbarukan kembali oleh Roh Allah, dibenarkan, diadopsi ke dalam keluarga Allah, maka Saudara tidak dapat kehilangan keselamatan Saudara. Allah akan menjaga Saudara (Yohanes 10:27-30; Roma 8:28-29). Ketekunan tidak berarti bahwa setelah Saudara menerima Kristus, lalu Saudara boleh berdosa sekehendak hati Saudara dan Saudara tetap diselamatkan. Banyak orang menerima Kristus secara munafik dan kemudian menyangkali kehidupan Kristen. Mereka yang murtad, dan tidak kembali menerima Kristus di hati mereka, mereka mati dalam dosa-dosa mereka. Tetapi apabila Saudara mengakui Kristus dari hati, maka Saudara pasti akan bertekun, karena Saudara tidak akan didominasi oleh dosa (Roma 6:14).

Catatan Kaki:

  1. Diterjemahkan dan dimuat sesuai dengan izin yang diberikan secara lisan oleh penulis.
  2. Dalam tulisan ini, saya menggunakan istilah “Calvinistis” dan “Reformed” dengan arti yang sama.
  3. (abridged ed. Philadelphia: Presbyterian and Reformed, 1975) 7-22.
  4. Lihat teguran terhadap perpecahan dalam 1 Korintus 1-4. Saya membahas isu ini secara mendalam dalam Evangelical Reunion (Grand Rapids: Baker, 1991).
  5. “A Christian Theory of Knowledge” (t.k.: Presbyterian and Reformed, 1969) 194 dan lainnya.
  6. Adalah benar bahwa, bahkan di Amerika Serikat, garis pemisah antara kalangan injili dengan yang lainnya telah menjadi kabur. Sebagian telah menyangkali ineransi Kitab Suci secara total, sementara itu mengklaim dirinya Evangelikal. Dalam pandangan saya, hal ini tidak sesuai. Namun demikian, bagi saya istilah “Evangelikal” bukan sama sekali tidak berguna lagi, dan saya tahu tidak ada yang lebih baik untuk maksud saya sekarang ini.
  7. Lihat Christianity and Liberalism dari Machen, tetap merupakan tulisan yang terbaik tentang perubahan-perubahan yang fundamental antara kedua cara berpikir itu.

IMAN REFORMED MENGAJARKAN KOVENAN KETUHANAN ALLAH SECARA KOMPREHENSIF

Saya sekarang akan melanjutkan dengan ringkasan yang lebih komprehensif dari sistem doktrin Reformed. Argumentasi yang akan saya berikan adalah sebagai berikut: Allah biblikal adalah “Tuhan kovenan” dan semua karya-Nya dalam penciptaan dan keselamatan adalah sebuah karya berdasarkan pada ketuhanan kovenan-Nya. Oleh karena itu, “Allah adalah Tuhan kovenan” merupakan ringkasan dari berita Alkitab. Iman Reformed juga bisa diringkaskan dengan cara ini: semua unsur esensial dari iman Reformed dapat dilihat sebagai karya dari ketuhanan kovenan Allah. Fakta bahwa “ketuhanan kovenan” merupakan hal yang sentral di Kitab Suci, dan teologi Reformed adalah suatu argumen besar yang berpihak pada teologi Reformed sebagai formulasi pengajaran Kitab Suci yang terbaik.

Saudara akan menemukan bahwa “kovenan” itu telah dijelaskan secara berbeda oleh teolog yang berbeda, bahkan di kalangan Reformed. Tetapi bagi saya, hal berikut ini kelihatannya mencakup unsur-unsur esensial dari kovenan yang alkitabiah antara Allah dan manusia. Sebuah “kovenan” adalah sebuah relasi antara “Tuhan” yang berdasarkan kedaulatan-Nya, dengan memanggil sekelompok “umat”(8) menjadi milik- Nya, yaitu umat yang disebut sebagai alat-alat Tuhan atau hamba-hamba Tuhan. Ia memerintah atas mereka dengan kuasa dan hukum-Nya, dan memberikan kepada mereka berkat yang unik (atau dalam kasus tertentu, kutuk yang unik). Supaya kita dapat memahami “kovenan” dengan lebih baik, maka kita harus memahami “ketuhanan” dengan lebih baik.

ARTI DARI KETUHANAN

Pertama, “Tuhan” merepresentasikan istilah Ibrani “YHWH” yang merupakan misteri (pada umumnya dilafalkan “Yahweh”, kadang-kadang ditemukan sebagai “Jehovah” atau “Lord” dalam terjemahan bahasa Inggris). Kata ini dikaitkan dengan kata kerja “to be” seperti dalam “I am” di Keluaran 3:14 (perhatikan kehadiran YHWH di ayat 15). Selain Keluaran 3:12-15, ada beberapa pasal di Kitab Suci yang kelihatannya pada derajat tertentu menjelaskan tentang arti dari nama yang merupakan misteri itu. Lihat Keluaran 6:1-8; 20; 33; 34; Imamat 18-19; Ulangan 6:4, dst.; Yesaya 41:4; 43:10-13; 44:6; 48:12, dst. Di PB, Yesus memakai nama “Kurios”, sebuah istilah Yunani yang digunakan untuk menerjemahkan YHWH di dalam PL yang berbahasa Yunani. Pada saat Ia memakai nama itu, Ia mengambil peran yang dimiliki oleh Yahweh di PL sebagai Tuhan, kepala dari kovenan. Di dalam pikiran saya, hal itu merupakan salah satu dari bukti yang paling kuat tentang keilahian Kristus. Oleh karena itu, bagian-bagian tertentu di PB, seperti Yohanes 8:31-59; Roma 10:9; 1 Korintus 12:3; Filipi 2:11, juga sama pentingnya bagi pemahaman kita tentang konsep ketuhanan di Alkitab. Dalam pengajaran saya tentang doktrin Allah, saya menjelaskan tentang hal ini dengan lebih rinci,(9) yaitu memerlihatkan kepada Saudara bagaimana ayat-ayat itu mengajarkan suatu konsep tertentu tentang ketuhanan ilahi. Dalam tulisan ini, saya hanya sekadar menyajikan konklusi-konklusi dari studi saya. Namun demikian, penyelidikan atas ayat-ayat ini akan berguna bagi Saudara untuk melihat bagaimana konsep-konsep berikut ini saling berkaitan satu dengan yang lain.

Konklusi saya adalah bahwa ketuhanan di Alkitab meliputi tiga aspek: kontrol, otoritas, dan kehadiran.

Pertama, kontrol. Tuhan adalah pribadi yang memiliki kontrol yang total atas dunia ini. Pada waktu Allah menebus Israel dari Mesir, Ia melakukannya dengan tangan yang kuat dan berkuasa. Ia mengontrol semua kekuatan alam untuk mendatangkan kutuk atas Mesir serta mengalahkan kekuatan-kekuatan dari penguasa terbesar yang totaliter pada saat itu. Lihat Keluaran 3:8, 14, 20; 20:2; 33:19; 34:6; Yesaya 41:4; 43:10-13; 44:6; 48:12, dan seterusnya. Saya telah menjelaskan tema biblikal ini dalam kaitan dengan doktrin predestinasi. Seharusnya disebutkan juga, bahwa kontrol Allah bukan hanya berkaitan dengan doktrin keselamatan, melainkan atas seluruh alam dan sejarah. Efesus 1:11 dan Roma 11:36 menyatakan kebenaran ini secara khusus, dan banyak bagian lain di Kitab Suci yang berkaitan dengan kejadian-kejadian yang didasarkan pada pengaturan Allah. Hal itu termasuk penjelasan tentang jatuhnya burung pipit dan jumlah rambut di kepala kita.

Dosa dan kejahatan juga bagian dari rencana Allah. Hal itu merupakan misteri, dan kita harus hati-hati dalam pernyataan kita. Namun demikian, Kitab Suci memang mengaitkan keberdosaan manusia dengan tujuan-tujuan Allah. Contohnya, lihat Kejadian 45:7; 50:20; 2 Samuel 24:1, 10 (bdk. lTawarikh 21:1); 1 Raja-raja 22:19-23; Kisah Para Rasul 2:23; 4:27-28; Roma 1:24, 26, 28; 9:11-23.

Bagaimana kita dapat merekonsiliasikan fakta-fakta ini dengan kebenaran dan kebaikan Allah? Saya telah membahas “problema kejahatan” ini dengan rinci dalam buku “Apologetics to the Glory of God”, halaman 149 — 190. Saya tidak percaya bahwa kita bisa sepenuhnya memahami alasan-alasan Allah untuk mengaitkan kejahatan ke dalam rencana-Nya. Dengan jelas, Ia melakukannya supaya suatu tujuan yang berada dalam konteks sejarah secara menyeluruh merupakan suatu tujuan yang baik (Kejadian 50:20). Di samping itu, yang terbaik adalah meneladani Ayub yang berdiam diri pada saat berhadapan dengan misteri dari kejahatan (Ayub 40:4-5; 42:1-6). Tentu saja kita tidak mengompromikan kedaulatan Allah dengan menyetujui ide seperti konsep Arminian tentang “kehendak bebas”, yaitu tindakan-tindakan manusia yang tidak ditetapkan sebelumnya oleh Allah.(10)

Kontrol ilahi tentu saja tidak mengimplikasikan penyebab sekunder, contohnya pilihan-pilihan manusia tidaklah penting. Allah umumnya mencapai tujuan-tujuan-Nya yang agung dengan menggunakan alat-alat yang fana. Tujuan-Nya adalah untuk menyebarkan Injil ke seluruh dunia, bukan melalui pernyataan mukjizat, tetapi melalui pemberitaan dan pengajaran yang dilakukan oleh manusia (Matius 28:19, dst.). Tidak ada keselamatan (paling tidak di kalangan orang dewasa) tanpa iman dan pertobatan manusia (Yohanes 3:16; Kisah Para Rasul 2:38). Mereka, yang berargumen atas dasar kedaulatan Allah, para penginjil sama sekali tidak boleh mengajak orang untuk mengambil “keputusan”, tidak memahami keseimbangan biblikal. Kedaulatan Allah tidak mengesampingkan penyebab sekunder; melainkan menguatkan mereka, memberikan mereka signifikasi.

Allah dari Kitab Suci bukan jenis yang abstrak, yang berlawanan dengan dunia, sehingga segala sesuatu yang dikaitkan pada-Nya harus disangkali ada pada manusia, demikian pula sebaliknya. Melainkan, Allah adalah pribadi, dan Ia telah menciptakan dunia sesuai dengan rencana-Nya. Beberapa hak prerogatif tidak ada pada makhluk ciptaan, seperti hak Allah yang eksklusif untuk disembah dan hak-Nya untuk melakukan sebagaimana yang dikehendaki-Nya dalam kehidupan manusia. Tetapi kebanyakan peristiwa dalam dunia memiliki penyebab-penyebab ilahi dan makhluk ciptaan; yang satu tidak membatalkan yang lain. Arminian dan hiper-Calvinis melakukan kesalahan dalam hal ini.

Kedua, otoritas. Otoritas adalah hak untuk ditaati. Tuhan memiliki hak tertinggi untuk itu. Sewaktu Ia berfirman, firman-Nya harus ditaati. Kovenan selalu mencakup firman, sebagaimana yang akan kita lihat dalam studi kita tentang doktrin firman Allah. Tuhan kovenan berbicara pada umat kovenan-Nya berkaitan dengan nama-Nya yang kudus, berkat-berkat- Nya di masa lampau bagi mereka, tuntutan-tuntutan-Nya atas perilaku mereka, janji-janji-Nya, dan peringatan-peringatan-Nya. Firman yang ditulis dalam sebuah dokumen, dan pelanggaran terhadap firman Tuhan dalam dokumen tertulis itu berarti pelanggaran terhadap kovenan itu sendiri.

Sewaktu Allah menemui Musa di Mesir, Ia datang dengan firman yang berotoritas bagi Israel dan Firaun, yaitu suatu firman yang tidak mereka taati atas risiko mereka sendiri. Lihat Keluaran 3:13-18; 20:2, dan seterusnya; Imamat 18:2-5, 30; 19:37; Ulangan 6:4-9; Lukas 6:46, dan seterusnya. Otoritas-Nya mutlak dalam tiga arti: (a) Ia tidak dapat dipertanyakan (Roma 4:14-20; Ibrani 11; Ayub 40:1, dst.; Roma 9:20). (b) Kovenan-Nya melampaui semua kesetiaan pada yang lainnya (Keluaran 20:3; Ulangan 6:4, dst.; Matius 8:19-22; 10:34-38; Filipi 3:8). (c) Otoritas kovenan-Nya meliputi semua area kehidupan manusia (Keluaran — Ulangan; Roma 14:23; 1 Korintus 10:31; 2 Korintus 10:5; Kolose 3:17, 23).

Ketiga, kehadiran. Tuhan ialah pribadi yang mengambil suatu umat menjadi milik-Nya. Ia menjadi Allah mereka, dan mereka menjadi umat- Nya. Jadi, Ia “bersama mereka” (Keluaran 3:12). Kehadiran Tuhan bersama umat-Nya merupakan suatu tema yang indah yang tersebar di Kitab Suci; lihat Kejadian 26:3; 28:15; 31:3; 46:4; Keluaran 3:12; 33:14; Ulangan 31:6, 8, 23; Hakim-hakim 6:16; Yeremia 31:33; Yesaya 7:14; Matius 28:20; Yohanes 17:25; 1 Korintus 3:16, dan seterusnya; Wahyu 21:22.

Jadi, Yahweh dekat dengan umat-Nya, tidak seperti ilah-ilah dari bangsa lain (Imamat 10:3; Ulangan 4:7; 30:11-14 [Roma 10:6-8]; Mazmur 148:14; Yeremia 31:33; Yunus 2:7; Efesus 2:17; Kolose 1:27). Ia secara harfiah “mendengar” Israel dalam kemah suci dan bait Allah. Kemudian Ia mendekat di dalam Yesus Kristus dan dalam Roh Kudus. Dan berdasarkan kemahakuasaan-Nya dan kemahatahuan-Nya, Ia tidak pernah jauh dari siapa pun (Kisah Para Rasul 17:27-28). Berdasarkan pemahaman ini, seluruh ciptaan terikat dengan Dia oleh kovenan. Lihat Kline, “Images of the Spirit”.

Kehadiran Allah berarti suatu berkat, tetapi dapat juga berarti suatu kutukan, pada saat umat itu melanggar kovenan. Lihat Keluaran 3:7-14; 6:1-8; 20:5, 7, 12; Mazmur 135:13, dan seterusnya; Yesaya 26:4-8; Hosea 12:4-9; 13:4, dst.; Maleakhi 3:6; Yohanes 8:31-59.

Saya akan merujuk pada tiga kategori ini sebagai “atribut ketuhanan”. Mereka tidak terpisahkan; setiap kategori terkait dengan dua kategori lainnya. Kontrol Tuhan dilaksanakan melalui otoritas perkataan-Nya pada ciptaan (Kejadian 1); oleh karena itu “kontrol” melibatkan otoritas. Kontrol itu komprehensif, jadi meliputi kehadiran Allah di seluruh ciptaan. Demikian halnya dengan setiap atribut ketuhanan termasuk dua yang lainnya. Oleh karena itu, setiap atribut hadir, bukan “terpisah” dari ketuhanan Allah, tetapi keseluruhannya, dari satu “perspektif”(11) yang partikular.

SENTRALITAS DARI KETUHANAN DI KITAB SUCI

“Tuhan” merupakan nama dasar kovenan dari Allah (Keluaran 3:13-15; 6:1-8; Roma 14:9). Ada nama lain dari Allah, tetapi ini merupakan nama yang berarti bahwa Ia adalah kepala dari kovenan dengan umat-Nya. Ini adalah nama, di mana dengan nama itu Ia berharap dikenali oleh umat kovenan-Nya.

Hal itu dapat ditemukan dalam pengakuan dasar dari iman umat Allah di Kitab Suci (Ulangan 6:4, dst.; Roma 10:9; 1 Korintus 12:3; Filipi 2:11). Dasar pengakuan dari Kovenan Lama adalah “Tuhan Allah kita adalah Tuhan yang esa”. Pengakuan dasar dari Kovenan Baru adalah “Yesus Kristus adalah Tuhan”.(12)

Semua tindakan Allah yang maha kuasa dalam ciptaan dan sejarah dilakukan “supaya mereka mengetahui bahwa Aku adalah Tuhan” (Keluaran 14:18; l Raja-raja 8:43; Mazmur 9:10; dst.). Berulang kali di Yesaya, Tuhan menyatakan bahwa “Akulah Tuhan, Akulah Dia” (Yesaya 41:4; 43:10- 13). Kata “Aku adalah” mengingatkan pada Keluaran 3:14.

SENTRALITAS KETUHANAN KOVENAN DALAM IMAN Reformed

Iman Reformed juga menekankan ketuhanan kovenan Allah atas umat-Nya. Konsep kovenan tidak digunakan secara sistematis oleh Calvin, meskipun secara partikular kesinambungan dari ide tentang kontrol, otoritas, dan kehadiran cukup menonjol dalam pikirannya. Merupakan hal yang alamiah bahwa di kalangan penerus Calvin ada perkembangan yang menyeluruh dan aplikasi dari ide kovenan, dan bahwa konsep itu telah menjadi perhatian utama dari para teolog Reformed sampai hari ini.

Pertama, kontrol. Jelas sekali teologi Reformed telah menekankan kontrol Allah, yang “melakukan segala sesuatu menurut keputusan kehendak-Nya” (Efesus 1:11). Kita telah membahas penekanan ini dalam pembahasan kita tentang predestinasi dan teologi Reformed juga menekankan kedaulatan Allah dalam penciptaan dan providensia. Bersama Kitab Suci, teologi Reformed juga memertahankan kepentingan dari penyebab sekunder. “Hyper-Calvinist”, yang berada di perbatasan fatalisme,(13) kadang-kadang menyangkali kepentingan dari keputusan serta aktivitas makhluk ciptaan; tetapi hal ini tidak merepresentasikan tradisi Reformed yang utama.

Kedua, otoritas. Reformed telah selalu menekankan, lebih dari kebanyakan cabang kekristenan lain, bahwa manusia harus tunduk pada hukum Allah. Sebagian orang yang mengaku orang Kristen telah mengatakan bahwa hukum dan anugerah, atau hukum dan kasih, selalu berlawanan, sehingga orang Kristen tidak ada kaitan dengan hukum. Namun, kaum Reformed menyatakan bahwa apabila kita mengasihi Yesus, maka kita akan melakukan perintah-Nya (Yohanes 14:15, 21; 15:10; l Yohanes 2:3, dst.; 3:22, dst.; 5:2, dst.; 2 Yohanes 6; Wahyu 12:17; 14:12). Tentu saja melakukan hukum tidak mendatangkan keselamatan bagi kita. Hal itu tidak membenarkan kita di hadapan Allah. Hanya kebenaran dari Kristus yang melakukan hal itu. Tetapi bagi mereka yang diselamatkan, mereka akan melakukan perintah Allah.

Reformed juga menekankan kelanjutan kenormatifan dari hukum PL, khususnya atas orang percaya di PB (Matius 5:17-20). Ada perdebatan di kalangan Reformed atas “teonomi”, yang pada dasarnya suatu perdebatan tentang bagaimana hukum PL digunakan dalam kehidupan orang Kristen.(14) “Teonomis” maupun kritik Reformed terhadap teonomi sepakat bahwa hukum PL memiliki suatu pengajaran dan pengaturan yang penting dalam kehidupan orang Kristen; kedua kelompok juga sepakat bahwa sebagian hukum PL tidak lagi mengikat secara harfiah, karena kita sekarang hidup dalam suatu situasi yang berbeda dari zaman bilamana perintah-perintah ini diberikan. Argumen atas nama perintah- perintah ini berasal dari kategori itu. Semua Calvinis percaya bahwa hukum-hukum PL adalah firman Tuhan dan bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memerbaiki kelakuan, dan untuk mendidik orang dalam kebenaran, dengan demikian tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik. (2 Timotius 3:16-17).

Secara khusus dalam area ibadah, Reformed telah menekankan otoritas dan kecukupan firman Allah. Sementara kaum Lutheran dan kaum Roma Katolik berargumentasi bahwa apa pun diizinkan dalam ibadah, kecuali yang dikutuk oleh Kitab Suci. Kaum Reformed memertahankan bahwa semua yang tidak diotorisasi oleh Kitab Suci, tidak diizinkan dalam ibadah. Hal itu dikenal sebagai “prinsip peraturan untuk ibadah”. Telah ada perdebatan di kalangan kaum Reformed tentang implikasi konkrit dari prinsip ini. Sebagian orang telah berargumen bahwa hal itu menuntut penggunaan yang eksklusif dari Mazmur dalam ibadah dan melarang penggunaan alat-alat musik, penyanyi solo, atau paduan suara. Sebagian orang yang lain berargumen bahwa hal itu menuntut suatu upacara ibadah yang merujuk pada model ibadah yang digunakan pada abad XVII oleh kaum Puritan. Analisis saya berbeda.(15) Saya tidak diyakinkan oleh penafsiran yang telah digunakan untuk mencapai konklusi yang terbatas ini. Dan selaras dengan prinsip-prinsip dari Reformasi, saya melihat peraturan yang prinsip pada dasarnya sebagai suatu prinsip yang memberikan kepada kita kebebasan dari tradisi manusia, dan mengikat kita hanya pada firman Allah.

Hal itu membangkitkan suatu poin yang penting dari natur yang lebih umum. Teologi Reformed bukan hanya suatu teologi tentang ketuhanan Allah, tetapi juga suatu teologi dari kebebasan manusia. Teologi Reformed menolak, tentu saja, konsep Arminian tentang “kehendak bebas” yang sudah dibahas terdahulu. Tetapi mengakui kepentingan dari keputusan makhluk ciptaan, sebagaimana yang telah kita lihat sebelumnya. Dan hal itu juga membebaskan kita dari ikatan tirani manusia, sehingga kita bisa menjadi hamba Allah saja. Untuk pastinya, Allah memang menetapkan otoritas yang sah atas umat manusia, dan Ia memanggil kita untuk menghormati dan menaati otoritas-otoritas itu. Tetapi pada saat otoritas-otoritas itu memerintahkan sesuatu yang bertentangan dengan firman Tuhan, atau pada saat mereka menempatkan ide mereka setara dengan Kitab Suci, kita boleh dan bahkan harus tidak menghormati klaim-klaim mereka. Kita harus lebih menaati Allah dari pada manusia. Oleh karena itu, Saudara dapat melihat bahwa otoritas kovenan Allah bukan merupakan suatu doktrin yang membebani. Hal itu merupakan kemerdekaan yang paling besar.

Oleh karena itu, iman Reformed pada esensinya bukan “tradisionalis”, meskipun sebagian orang Reformed menurut perkiraan saya telah memiliki penghormatan yang tidak sehat terhadap tradisi. Ada sebuah slogan Reformed, “semper reformanda”, “always reforming”. Oleh karena itu, “fades reformata semper reformanda est”, “the Reformed Faith is always reforming”. Ada beberapa divisi di kalangan Reformed, sebagian menekankan reformata (Reformed) dan yang lain yang menekankan reformanda (reforming). Keduanya adalah penting dan keduanya harus tetap dipertahankan keseimbangannya. Iman kita haruslah “Reformed”, yaitu dalam kesesuaian dengan prinsip fundamental dari Kitab Suci, sebagaimana yang diringkas dalam pengakuan-pengakuan Reformed. Namun demikian, hal itu harus juga di-“reforming”, berusaha untuk membawa pemikiran dan praktik kita lebih seturut dengan Kitab Suci, meskipun proses itu menuntut pengeliminasian beberapa tradisi. Para reformator adalah keduanya: konservatif dalam penganutan mereka pada doktrin Alkitab dan radikal dalam kritik mereka terhadap tradisi gereja. Kita harus demikian pula. Oleh karena itu, berhati-hatilah pada orang yang mengatakan kepada Saudara bahwa Saudara harus beribadah, atau berpikir atau berperilaku sesuai dengan tradisi historis tertentu. Buktikan itu semua berdasarkan firman Allah (l Tesalonika 5:21). Selidiki Kitab Suci setiap hari untuk melihat apakah yang Saudara dengar itu memang benar (Kisah Para Rasul 17:11).

Karena waktu terbaiknya iman Reformed telah kritis terhadap tradisi manusia, bahkan di kalangannya sendiri. Iman Reformed memiliki sumber- sumber untuk kontekstualisasi yang efektif. Kontekstualisasi adalah usaha untuk menyajikan kebenaran Kitab Suci dalam istilah yang dipahami oleh budaya yang berbeda dengan yang kita miliki, dan berbeda dengan budaya di mana Kitab Suci ditulis. Khotbah Reformed telah tercatat mengalami kesuksesan sepanjang sejarah dalam pekerjaan kontekstualisasi. Calvinisme telah secara dalam memengaruhi budaya yang sangat berbeda dengan budaya Swiss, mulai dari Belanda, Jerman, Inggris, Hungaria, dan Korea. Calvinisme memiliki pengikut yang cukup besar di Perancis dan Itali sampai kebanyakan mereka telah diusir keluar dengan paksa.

Oleh karena itu, sepenuhnya Reformed mengatakan sama halnya dengan saya, di “Doctrine of the Knowledge of God” bahwa teologi merupakan aplikasi dari kebenaran Kitab Suci ke dalam situasi manusia. Perkembangan dalam teologi merupakan kesinambungan aplikasi dari Kitab Suci pada situasi yang baru dan konteks yang muncul. Hal itu bukan sekadar repetisi dari formulasi doktrin yang bekerja dalam generasi pada masa lalu, sebagaimana yang dianggap oleh sebagian “tradisionalis”. Melainkan pekerjaan teologi melibatkan kreativitas kita tanpa mengompromikan otoritas dan kecukupan dari Kitab Suci.

Calvinisme telah merupakan semacam teologi yang “progresif”. Teologi Reformed biasanya bukan hanya sekadar menyatakan ulang pernyataan Calvin dan pengakuan-pengakuan. Calvinisme terus mengembangkan aplikasi yang baru dari Kitab Suci dan doktrin Reformed. Pada abad ketujuh belas, ada perkembangan yang signifikan dari pemikiran Reformed tentang kovenan Allah.

Pada abad kedelapan belas, pemikir Jonathan Edwards mengajukan pengajaran baru tentang dimensi subjektif dari kehidupan Kristen. Pada abad kesembilan belas dan permulaan abad kedua puluh, ada perkembangan yang luar biasa, di bawah Vos dan yang lainnya, tentang “teologi biblika”, analisis Kitab Suci sebagai suatu sejarah keselamatan. Pada abad kedua puluh ada apologetika Van Til dan “Structure of Biblical Authority” dari Meredith Kline.

Pekerjaan “mereformasi” di bawah otoritas Allah tidak terbatas, juga bagi gereja dan teologi. Calvinis telah sering menekankan “mandat budaya” dari Kejadian 1:28-30, bahwa Allah memerintahkan umat manusia untuk menaklukkan seluruh bumi di dalam nama-Nya. Ini berarti bahwa semua wilayah kehidupan umat manusia harus direformasi oleh firman Allah. Abraham Kuyper, seorang jenius agung dari Belanda yang memberikan kontribusi yang besar pada bidang teologi, filsafat, jurnalisme, pendidikan, dan politik, berargumen bahwa seharusnya ada politik, seni, literatur, demikian juga teologi Kristen yang unik.(16) Firman Allah memerintah di semua area kehidupan (1 Korintus 10:31; 2 Korintus 10:5; Roma 14:23; Kolose 3:17, 23). Jadi, orang Reformed telah menekankan kebutuhan untuk sekolah-sekolah, gerakan-gerakan buruh, bisnis, universitas, filsafat, ilmu pengetahuan, gerakan politik, sistem ekonomi Kristen yang unik.

Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa teologi Reformed prihatin bukan hanya tentang keselamatan individu, dan kesalehan (lihat di bawah), melainkan juga tentang struktur dari masyarakat. “Kovenan”, walau bagaimanapun, berkaitan dengan relasi suatu kelompok dengan Allah, lebih daripada hanya sekadar dengan seorang individu.(17) Dalam kovenan, Allah memilih suatu umat. Kitab suci menjelaskan bahwa Allah memilih seisi rumah, keluarga. Oleh karena itu, Calvinis umumnya percaya pada baptisan anak. Baptisan anak mengatakan bahwa pada saat Allah mengklaim orang tua, Allah mengklaim seluruh isi rumah sebagai milik-Nya (Kisah Para Rasul 11:14; 16:15, 31-34; 18:8; l Korintus 1:11, 16).

Memertimbangkan doktrin otoritas ilahi menolong kita untuk melihat dari arah lain(18) relasi antara kedaulatan Allah dan tanggung jawab manusia. Umat manusia bertanggung jawab karena mereka harus tunduk pada perintah Allah. Oleh karena itu, pengajar-pengajar Reformed tidak mempresentasikan tanggung jawab manusia sebagai suatu konsesi dendam terhadap Arminianisme. Melainkan, mereka menekankan tanggung jawab dan bersukacita di dalamnya.

Tanggung jawab manusia adalah doktrin Calvinistis. Hal itu menyatakan struktur yang berarti dari rancangan Allah yang berdaulat dan otoritas normatif dari hukum Allah yang berdaulat.(19)

Secara historis, kadang-kadang orang bertanya-tanya mengapa Calvinis yang percaya pada kedaulatan Allah, tidak memiliki sikap pasif dalam hidupnya. Pada faktanya, Calvinis berusaha untuk melayani Tuhan yang telah memanggil kita dengan sebaik mungkin. Hasilnya ada di tangan- Nya, tetapi kita telah memiliki kehormatan untuk melayani Dia dengan tugas yang paling agung, yang melaluinya berarti menaklukkan semua kehidupan pada Kristus.

Ketiga, kehadiran. Teologi Reformed pada saat terbaiknya bersifat devosional secara mendalam, yaitu menyadari intimasi kedekatan dengan Allah pada setiap saat dalam hidup kita. Tentu saja, sebagian pemikir Reformed, mendasarkan profesi mereka sendiri sebagai “intelektualis”, telah meremehkan semua keprihatinan orang Kristen dengan subjektivitas dan kedalaman manusia. Tetapi, menurut pendapat saya intelektualisme itu tidak merepresentasikan yang terbaik atau mentalitas umum dari kebanyakan kaum Reformed. Calvin memulai institutnya dengan mengatakan bahwa pengetahuan Allah dan pengetahuan tentang diri saling berhubungan, dan “saya tidak tahu yang mana yang lebih dahulu”. Ia sadar karena kita diciptakan berdasarkan gambar-Nya, kita tidak dapat mengenal diri sendiri dengan benar, tanpa mengenal Allah pada saat yang sama. Dengan kata lain, Allah ditemukan dalam setiap sudut dari kehidupan manusia, termasuk yang subjektif. Ia juga bersikeras bahwa kebenaran-kebenaran firman Allah ditulis secara mendalam dalam hati, bukan hanya sekadar “di dalam kepala”.(20) Emblemnya memerlihatkan sebuah hati di dalam sebuah tangan, diarahkan pada Allah, dengan tulisan, “My heart I give you, promptly and sincerely.”

Jadi orang Reformed telah berbicara tentang hidup dalam semua kehidupan coram Deo, di hadirat Allah. Pemahaman tentang realitas Allah ini mendorong kesalehan yang kaya, demikian pula ketaatan yang bersemangat dalam semua kehidupan.

KONKLUSI

Saudara dapat melihat bahwa iman Reformed sangat kaya! Dapat dipahami adanya beberapa perdebatan di kalangan orang Reformed, sebagian telah saya sebutkan dalam tulisan ini. Telah ada juga perbedaan penekanan di antara para teolog Reformed dan gereja-gereja. Sebagian telah lebih terfokus pada “lima poin”, “doktrin anugerah”. Penekanan ini khususnya menonjol di kalangan Reformed Baptis, tetapi ditemukan dalam kalangan lainnya juga. Yang lain (teonomis) telah terfokus pada otoritas dari hukum Allah. Sedangkan yang lainnya (Kuyperian, Dooyeweerdian) telah menekankan aplikasi dari kebenaran Allah dalam struktur sosial.

Wolterstorff dan yang lain mengusulkan suatu cara untuk membedakan beragam mentalitas teologis di kalangan gereja-gereja Reformed (khususnya yang berlatar belakang Belanda). Mereka berbicara tentang “piets, kuyps and docts”. “The piets” dipengaruhi oleh pietisme, yang terutama mencari suatu relasi yang personal dengan Kristus. “The docts” yang terutama memerhatikan memertahankan teologi ortodoksi. “The Kuyps” memerhatikan perubahan besar dalam masyarakat.(21)

Kelihatannya bagi saya ada ruang dalam gerakan Reformed untuk semua penekanan yang berbeda ini. Tidak ada seorang pun di antara kita yang memertahankan keseimbangan yang sempurna. Situasi yang berbeda menuntut kita untuk memberikan penekanan yang berbeda, seperti halnya pada waktu kita “mengontekstualisasikan” teologi kita untuk membawa firman Allah ke dalam situasi di mana kita berada. Allah juga memberikan karunia yang berbeda pada orang yang berbeda. Tidak semua berkarunia dalam aksi-aksi politik, atau dalam perumusan doktrin- doktrin dengan teliti, atau dalam penginjilan pribadi. Kita semua melakukan apa yang dapat kita lakukan, dan kita melakukan apa yang kelihatannya paling harus dilakukan pada situasi itu. Di dalam batasan iman Reformed sebagaimana digambarkan di sini, kita harus bersyukur atas perbedaan penekanan itu, bukan mengkritik mereka. Perbedaan penekanan saling melengkapi satu dengan yang lainnya.

Catatan Kaki:

8. Berbeda dengan Dispensasionalisme, teologi Reformed mengajarkan (sesuai dengan kitab suci, menurut pendapat saya) bahwa hanya ada satu umat Allah, mencakup semua pilihan Allah, menerima berkat-berkat yang sama di dalam Kristus, berkat-berkat yang dijanjikan pada Abraham dan keturunannya.

9. Penjelasan yang lebih komprehensif dibaca dalam buku “Doktrin Pengetahuan tentang Allah” (Doctrine of the Knowledge of God) dari John M. Frame yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh literatur SAAT (catatan terjemahan).

10. Namun demikian, ada konsep-konsep lain tentang kehendak bebas yang sepenuhnya alkitabiah; lihat “Apologetics to the Glory of God”.

11. Relasi “perspektival” semacam itu umum di kitab suci.

12. Nanti seharusnya menjadi jelas bahwa Alkitab mengajarkan “Ketuhanan dan Keselamatan”, yang sebagaimana diajarkan dalam imam Reformed. Mereka yang diselamatkan, yang mengakui ketuhanan Kristus dari hati. Tentu saja, hal ini tidak berarti bahwa mereka yang mengakui ketuhanan Kristus harus sempurna dari awalnya dalam pengabdian mereka kepada Dia. Aplikasi ketuhanan Yesus dalam kehidupan orang Kristen merupakan suatu proses yang tidak akan selesai sampai kita ke surga.

13. Fatalisme adalah pandangan bahwa “apa yang terjadi, terjadilah”, apa pun yang kita lakukan. Kekristenan biblika bukanlah fatalistik, karena ia mengajarkan suatu relasi teratur antara penyebab sekunder dan akibat-akibat yang terjadi. Rencana Allah pasti akan berhasil; tetapi akan terjadi dengan sukses karena Allah akan menyediakan alat fana yang dibutuhkan. Contohnya, bahwa orang pilihan akan diselamatkan terlepas dari pemberitaan Injil.

14. Lihat. Simposium WTS, “Theonomy: a Reformed Critique”, diedit oleh W. Robert Godfrey dan Will Barker, khususnya dalam esai saya dalam terbitan itu!

15. Bacalah buku saya “Worship in Spirit and Truth” (Phillipsburg: P & R, 1996).

16. Lihat. “Lectures on Calvinism”, sebuah buku yang menggerakkan, menantang, mentransformasi hidup, yang setiap orang Kristen harus membacanya.

17. Meskipun tentu saja ada aspek-aspek individual untuk keselamatan dan kehidupan Kristen, Allah memanggil setiap individu untuk bertobat dan percaya.

18. Kita telah menyebutkan kepentingan keputusan manusia dan tindakan manusia dalam rancangan Allah secara keseluruhan.

19. “Tanggung jawab” Arminian berdasarkan pada kekuatan kehendak manusia untuk melakukan peristiwa-peristiwa yang tidak disebabkan. Tetapi peristiwa yang tidak disebabkan adalah kebetulan, bisa jadi tidak masuk akal, peristiwa yang tidak ada hubungan apa pun dengan struktur rasional yang telah ditetapkan sebelumnya. Melakukan tindakan yang hanya kebetulan sukar, dikatakan sebagai “tanggung jawab”. Lebih jauh, tanggung jawab dalam Kitab Suci selalu merupakan tanggung jawab pada Allah, bukan pada diri sendiri. Oleh karena itu, hal itu menyatakan adanya hukuman Allah.

20. Oleh karena itu, Calvin adalah sumber dari kontras antara “kepala/hati” yang sering kali diremehkan oleh “intelektualis” Reformed. Calvin bukan, demikian pula dengan saya, antiintelektualisme. “Hati” di Kitab Suci adalah hati yang berpikir. Tetapi ada semacam pengetahuan intelektual yang diterima secara superfisial, suatu pengetahuan yang sebenarnya bukan aturan dari kehidupan seseorang. Itu bukan pengetahuan yang diajarkan oleh Calvin dan Kitab Suci kepada kita.

21. Dalam terminologi saya, tiga gerakan ini adalah eksistensional, normatif, dan situasional secara respektif.

Diambil dari:

Judul buku : Veritas, Volume 08, Nomor 02 (Oktober 2007)
Judul artikel : Introduksi pada Iman Reformed
Penulis : John M. Frame
Penerbit : Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang 2007
Halaman : 169 — 189